25 August 2008

Sarapan

Hari ini gw berniat mengakhiri kebiasaan buruk gw, yaitu malas sarapan. Kemarin gw sarapan dulu sebelum ke kantor. Gw nyampe ke kantor jam 10.35 dan segera menulis. Alhasil, gw berhasil menyelesaikan delapan tulisan sebelum jam 17.00.

Hari ini gw ga sarapan. Walaupun perut gw keroncongan tapi baru gw isi jam 13.30 tadi. Ternyata, produktivitas gw sangat menurun. Jam 14.34 aja gw baru nyelesaiin lima tulisan. Itu juga kayaknya kurang bagus.

Terbukti!
Besok gw harus sarapan!!!

24 August 2008

Demi Integritas Bangsa dan Kesejahteraan Penduduk Lokal

Ada beberapa pulau terluar Indonesia yang rawan sengketa, di antaranya yang berada di sekitar Nanggroe Aceh Darussalam, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Di NAD, ada beberapa pulau yang berpotensi menimbulkan sengketa karena berbatasan dengan perairan India dan Thailand. Di antaranya, Pulau Rondo, Benggala, Rusa, Raya, Salaut Besar, Simeulucut. Pertemuan tiga garis batas antara Indonesia, India, dan Thailand di perairan Andaman ini rawan konflik karena adanya ancaman separatisme, illegal fishing, dan klaim perairan antara tiga negara mengenai potensi kelautan.

Wilayah Provinsi Kepulauan Riau tercatat memiliki 19 pulau terluar. Tujuh di perairan Selat Philips dan Selat Singapura, dan 12 pulau di perairan Natuna. Tiga pulau yang cukup besar dan paling rawan konflik di antaranya adalah Pulau Nipa, Sekatung, dan Anambas. Salah satu pulau yang perlu diberikan perhatian ekstra adalah Pulau Nipa. Pulau ini awalnya merupakan pulau yang indah dan menjadi surga ikan kerapu yang mahal harganya. Ratusan kapal-kapal besar berlalu lalang setiap harinya di Pulau Nipa. Sayangnya, pulau ini sangat rawan abrasi. Namun, yang paling memprihatinkan sejak beberapa tahun silam pulau ini tercemar karena dijadikan tempat pembuangan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya oleh Singapura).

Pulau Nipa juga dimanfaatkan oleh Singapura untuk mereklamasi wilayahnya dengan mencuri pasirnya. Masalah penambangan pasir ini telah berlangsung sejak 1970-an. Jutaan ton pasir dikeruk selama bertahun-tahun dan semakin mengikis Pulau Nipa ini sendiri. Karena pasirnya terus-menerus tergerus sehingga rawan abrasi dan terjadi kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah, pulau ini sewaktu-waktu terancam tenggelam.

Kerugian besar akan terjadi di pihak Indonesia. Pertama, rusaknya ekosistem menyebabkan terganggunya mata pencaharian penduduk, khususnya nelayan. Kedua, penambangan pasir yang berpotensi meneggelamkan Nipa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, justru akan memajukan garis batas wilayah Singapura. Perairan indonesia lama-kelamaan akan tercaplok, sementara wilayah Singapura, semakin lama akan semakin luas.

Seperempat abad yang lalu, data menunjukkan bahwa luas Singapura hanyalah 527 kilometer persegi. Pada 1998, luasnya sudah bertambah menjadi 674 kilometer persegi. Dan yang lebih mengejutkan, 2010 mendatang Singapura menargetkan luas wilayahnya mencapai 834 kilometer persegi. Seharusnya itu menjadi catatan penting bagi Indonesia.

Selain itu, ada pula Pula Anambas. Di perairan sekitarnya, pernah terekam adanya latihan militer gabungan yang diprakarsai oleh Singapura dan Malaysia pada 19-20 Mei 2007. Ironisnya, ini terjadi tepat di titik-titik koordinat wilayah kedaulatan RI.

Tak hanya itu, tercatat pula belasan pulau lain di kepulauan Riau yang rawan konflik, tak hanya dengan Singapura, tetapi juga dengan Malaysia dan Vietnam. Di antaranya, adalah Pulau Sentut, Pulau Tokong Malang Biru, Pulau Damar, Pulau Mangkai, Pulau Tokong Nanas, Pulau Tokong Belayar, Pulau Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Senua, Subi Kecil, Kepala, Batu Mandi, Iyu Kecil, Karimun Kecil, Pelompong, Batu Berhanti, dan Nongsa.

Pendapatan peduduk di sebagian besar pulau-pulau ini bergantung pada penambangan pasir. Sayangnya, mereka tak menyadari bahwa tindakan tersebut selain berbahaya bagi keberadaan tempat tinggal mereka sendiri, juga hanya akan menguntungkan negara-negara yang perairannya berbatasan langsung dengan pulau tersebut.

Pulau terluar di sekitar Sumatera Utara pun tak kalah rawannya. Tercatat perairan di sekitar Pulau Berhala, Simuk, dan Wunga menjadi tempat mencari nafkah bagi para nelayan tradisional. Belum jelasnya penarikan batas antara Indonesia dan Malaysia di sekitar wilayah ini membuat para petani tradisional ini sering menjadi korban penangkapan bahkan penyiksaan oleh tentara laut Malaysia.

Di sekitar provinsi Papua juga terdapat beberapa pulau terluar yangg menyimpan potensi konflik perbatasan dengan negara lain, di antaranya, Pulau Fani, Fanildo, Brass, Budd, Missou, Bepondi, Liki, Kolepon, Laag, Ararkula, dan Kareira. Pulau-pulau tersebut memiliki potensi wisata bahari yang besar dengan keanekaragaman hayati laut dan terumbu karangnya yang indah.

Selain memiliki taman-taman laut dengan panorama yang alami dan ragam ikan hias, perairan di sekitar pulau-pulau ini juga merupakan pertemuan arus laut yang menjadi tempat bermukimnya limpahan ikan-ikan laut besar. Tak heran bila perairan di wilayah ini mencari incaran nelayan-nelayan dari Thailand, Papua Nugini, Australia, bahkan Taiwan, dan Korea. Potensi konflik yang paling mungkin terjadi adalah illegal fishing dan klaim kepemilikan oleh negara-negara lain yang tergiur dengan kekayaan laut yang melimpah di wilayah ini.

Sementara itu, di Sulawesi Utara ada beberapa pulau yang tak jelas statusnya. Catatlah, Pulau Miangas dan Marore, yang berbatasan langsung dengan Filipina. Sengketa Pulau Miangas, yang merupakan wilayah paling utara di Indonesia, bukanlah hal yang baru. Filipina mengklaim bahwa Miangas adalah bagian dari wilayahnya, sementara menurut keputusan Mahkaman Arbitrase Internasional pada 1928, Miangas merupakan milik sah Hindia-Belanda.

Sayangnya, dalam kenyataan pulau ini memang didominasi secara sosial, ekonomi dan budaya oleh Filipina. Barang-barang kebutuhan pokok kebanyakan dipasok dari Filipina, bahasanya pun serupa dengan suku Minandao, ditambah lagi kedekatan jarak wilayah membuat perkawinan dengan warga Filipina menjadi tak terhindarkan. Bahkan, dalam beberapa laporan disebutkan bahwa mata uang yang digunakan di pulau ini adalah Peso.

Hingga kini belum ada kesepakatan mengenai hal ini antara Indonesia dan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, yang dilakukan forum RI-Filipina, yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC).

Mengingat banyaknya pulau-pulua terluar di Indonesia, yang masih rawan sengketa dengan persoalan perbatasan wilayah dengan negara-negara tetangga yang belum sepenuhnya terselesaikan, maka sudah sepatutnya seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pertahanan, serta TNI untuk memberikan perhatian lebih pada masalah ini.

Perlu disadari bahwa pengelolaan pulau dan karang terluar Indonesia memiliki arti yang sangat strategis. Bukan hanya untuk menunjukkan integritas kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia di mata dunia, namun nilai ekonomi, sosial, pariwisata dan budaya yang terkait dengan pulau-pulau tersebut sangat layak untuk dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.


Astri Istiana Ihsan
Published @ Jurnal Nasional, 22 Agustus 2008

Internasionalisasi Kasus Sengketa Pulau

“Dari Sabang Sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung-menyambung menjadi satu, itulah Indonesia”

Sepenggal lagu nasional tersebut mungkin bisa mengingatkan kita betapa luasnya Indonesia sebagai negara kepulauan. Menurut data terakhir Departemen Dalam Negeri, yakni pada tahun 2004, jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 17.504. Sebanyak 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedang sisanya 9.634 belum memiliki nama.

Posisi Indonesia yang berkepulauan ini pun berbatasan langsung dengan beberapa negara tetangga. Indonesia berbatasan langsung dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua Nugini di Pulau Papua, dan dengan Timor Leste di Pulau Timor. Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, Vietnam, dan wilayah persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.

Masalah mulai muncul ketika disinggung mengenai aturan perbatasan dengan negara-negara tersebut. Persoalan utama dikarenakan Indonesia sendiri belum memiliki aturan batas wilayah yang jelas. Tak heran bila kerap kali terjadi persinggungan dengan negara-negara tetangga dikarenakan persoalan perbatasan ini.

Penetapan batas wilayah negara menjadi hal yang krusial dan sensitif. Pertama, hal ini bersinggungan langsung dengan kedaulatan negara dan eksistensi pertahanan Indonesia. Batas wilayah menjadi alat legitimasi kepemilikan dan memengaruhi jalinan hubungan antarnegara.

Kedua, batas wilayah juga akan memperjelas pendayagunaan potensi sumber daya alam di berbagai sektor, seperti perikanan, eksplorasi laut, ekspoloitasi lepas pantai, pariwisata, dan transportasi.

Ketidakjelasan mengenai batas wilayah kita sendiri akan memicu timbulnya persoalan-persoalan lain, seperti penyelundupan, eksploitasi hasil alam oleh warga negara lain, penangkapan nelayan-nelayan Indonesia karena dianggap melanggar batas wilayah negara, terjadi sengketa, hingga pencaplokan wilayah oleh negara lain.

Bila menyinggung masalah sengketa perbatasan ataupun klaim kepemilikan pulau, banyak yang langsung teringat dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan dari tangan Indonesia. International Court Justice (ICJ) pada 2002 memenangkan hak kedua pulau tersebut ke Malaysia.

Walaupun sejarah dan bukti memperlihatkan bahwa kedua pulau tersebut berada dalam teritorial Indonesia, namun ICJ justru lebih tertarik untuk melihat bagaimana kedua negara yang mengklaim pulau-pulau tersebut sebagai hak milik, mengambil peran di pulau tersebut. Salah satu faktor kemenangan Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan adalah karena Malaysia membuat kebijakan yang melarang pemburuan kura-kura di pulau itu.

Kasus ini pada akhirnya membuka mata kita bahwa jangankan untuk memberdayakan potensi yang ada, eksistensi pulau-pulau kecil Indonesia, ataupun karang-karang terluar saja, masih terabaikan.

Penting pula untuk diingat bahwa pulau atau karang terkecil sekalipun, yang mungkin tampak tak berarti itu, sebenarnya memegang peranan besar dalam penentuan batas wilayah negara dan ratusan mil pemanfaatannya. (bersambung)

Astri Istiana Ihsan
Published @ Jurnal Nasional, 21 Agustus 2008

20 August 2008

Gw dan Shangri-La


Entah ini sudah yang berapa kalinya gw menyambangi Shangri-La untuk nyobain makanan-makanan enak di restorannya. Hari ini gw ke Shang-Palace. Tempat yang cozy, homey, makanannya juga ga aneh di lidah. Tapi jujur, gw lebih menikmati Rosso dan Satoo.




(Akhhh, akhirnya lambung gw terisi setelah seharian gw biarin menjerit-jerit)

Sekarang gw lagi duduk santai di sofa sembari nikmati free hotspot. Lari menjauh dan tenggelam dalam duniaku.
Salam,

as3

Kemerdekaan Diri

Gw jadi inget cerita Dity tentang seorang teman yang sejak awal kuliah rajin banget menabung dan ngumpulin duit. Bukan karena dia adalah orang yang hemat. Tapi, dia punya satu cita-cita. Setelah lulus kuliah, duit yang sudah terkumpul mau digunain untuk berkeliling Indonesia dan menjurnalkan hasil petualangannya. Keren! Tahun ini dia lulus kuliah. Kalo ga salah, wisuda akhir Agustus ini. Uang yang berhasil dikumpul sebanyak Rp25 juta.


Gw juga jadi inget baca cerita Naked Traveller yang dimuat di Cosmopolitan beberapa bulan lalu. Seorang cewek yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk berkeliling dunia. How cool!! Saking hobinya, dia ga peduli semua gajinya bener-bener dipake untuk mengunjungi sebuah tempat baru. Dia memilih untuk ga punya rumah, ga punya mobil, dan ga takut untuk menjadi orang yang ga mapan untuk jelajahin berbagai negara, ketemu orang-orang baru, ngetawain fakta-fakta kecil yang ditemuin selama bertualang.


Menyenangkan sekali kalau sejak awal kita punya tujuan yang jelas dalam hidup. Punya cita-cita. Tau apa yang diinginkan. Tidak terjebak dalam sistem dan rutinitas. That's where i'm now, getting trapped.

Kalo sekarang gw ditanya, "berani ga untuk ninggalin semua yang gw punya, semua yang gw dapet, untuk ngeraih kebebasan dan kemerdekaan gw, jalanin apa yang gw mau, dan ikutin kata hati?", gw mungkin hanya bisa tertunduk dan bilang " kasi gw waktu untuk berpikir".


Salam,

as3

19 August 2008

Tekad as3

Mulai hari ini, gw bertekad untuk kerja sekeras-kerasnya, cari duit sebanyak-banyaknya, terus bikin perusahaan sendiri biar ga jadi bawahan orang lain. Mulai hari ini, gw bertekad untuk jadi bos, biar ga ada yang perintah-perintah gw seenaknya. Mulai hari ini, gw bertekad basmi orang-orang pemalas, cari muka, yang ga bisa kerja, banyakan ongkang-ongkang kaki, maunya cuma dapat hasil, reward dan pujian atas kerja keras orang lain.

Salam,

as3

18 August 2008

Kaki di Kepala, Kepala di Kaki


Pikiranku tak dapat kumengerti, kaki di kepala, kepala di kaki..

(citing lagunya Peterpan)

Sebenernya lagi bete banget.. Pajang foto Ai biar semangat lagi..!!!!

Cheers,
as3

Sengketa Pulau Batu Putih

Mendengar nama Pulau Batu Putih, mungkin banyak orang yang akan mengerutkan kening, tak tahu atau baru pertama kali mendengar namanya. Namun, di Malaysia ataupun di Singapura (yang disebut Pedra Branca), Pulau Batu Putih sangat tersohor. Bukan saja karena keanehan bentuknya, tapi juga karena sengketa antara Singapura dan Malaysia yang masing-masing mengklaim berhak atas pulau tersebut.

Pulau Batu Putih adalah pulau granit seluas 8.560 m2, yang berlokasi di antara pertemuan Selat Singapura dan Laut China Selatan. Nama pulau itu tercipta dari pemandangan kotoran burung yang kemudian mengeras dan membatu dalam tahunan prosesnya. Di pulau tersebut terdapat sebuah mercusuar Horsburgh, yang dibangun oleh Inggris pada 1851.

Pulau Batu Putih telah menjadi sengketa antara Singapura dan Malaysia sejak 29 tahun silam. Pulau ini konon telah didaftarkan oleh Singapura selama lebih dari seabad ketika pada 21 Desember 1971 Malaysia merilis peta wilayah di mana pulau tersebut termasuk dalam yuridiksi mereka. Sejak itu pula, kedua negara saling bersikukuh menyatakan bahwa pulau tersebut adalah bagian dari wilayah mereka.

Kasus sengketa Pulau Batu Putih, yang juga melibatkan beberapa pulau terdekat, seperti Karang Tengah dan Karang Selatan ini, telah mendapat campur tangan dari International Court of Justice (ICJ).

Sesuai dengan keputusan ICJ di Den Haag pada 23 Mei 2008, Pulau Batu Putih ditetapkan sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Singapura, Karang Tengah menjadi milik Malaysia, sementara Karang Selatan masih akan dibahas lebih lanjut.

Meski oleh beberapa pihak keputusan ICT tersebut dianggap sebagai win-win solution dan kedua negara sebelumnya juga telah sepakat untuk menghormati dan menerima keputusan tersebut, namun pemerintah Malaysia tak mau menyerah begitu saja.

Menteri Luar Negeri Malaysia Rais Yatim pun menyatakan akan terus melakukan pencarian bukti untuk menguatkan klaim bahwa pulau tersebut adalah milik Malaysia. Internal Malaysia sendiri saling menyalahkan. Tim Malaysia di ICJ dianggap gagal memberikan dokumen historikal yang kuat, termasuk sebuah surat dari pemerintah kolonial Inggris yang meminta izin kepada sultan Johor ketika akan membangun mercusuar di pulau tersebut.

Melihat jarak kedekatan, yakni terletak 24 nautikal mil dari Singapura, dan hanya tujuh nautikal mil dari Johor, juga menjadi alasan utama Malaysia merasa seharusnya memenangkan perebutan status kepemilikan dari ICT.

Singapura pun balik merespons. Menteri Hukum Singapura K Shanmugan mengatakan bahwa Negeri Singa ini akan menunggu dan melihat bukti baru apa yang akan dibawa oleh Malaysia.

Sementara itu, beberapa pihak juga mempertanyakan mengenai bentuk Pulau Batu Putih ini, apakah benar sebuah pulau ataukah hanya sebuah karang. Karena, menurut Konvensi Hukum Laut PBB, karang yang tidak menyokong keberlangsungan habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak memiliki zona eksklusifnya sendiri.

Lebih lanjut, Malaysia dan Singapura nanti akan melakukan survei bersama di sekitar area Pulau Batu Putih, Karang Tengah dan Karang Selatan untuk menentukan koordinat yang tepat dari teritorial laut dan zona ekonomi eksklusifnya.

Bila status Pulau Batu Putih dan Karang Tengah telah diputuskan oleh ICT (meski masih dalam perdebatan), masih ada satu persoalan lagi yang menunggu, yakni Karang Selatan. Pulau ini tak hanya akan melibatkan Malaysia dan Singapura, namun juga Indonesia.

Mengenai persoalan ini, Malaysia pun kembali memasang sikap ngototnya. Pekan lalu, Rais Yatim mengungkapkan akan mengambil berbagai langkah demi mendapatkan Karang Selatan. Yatim juga mengungkapkan bahwa, baik Malaysia, Singapura, maupun Indonesia harus memahami bahwa Karang Selatan berlokasi di wilayah perairan Malaysia.

Menurut ICJ sendiri, Karang Selatan terletak tumpang tindih antara Pulau Batu Putih dan Karang Tengah. ICJ pun memutuskan bahwa kedaulatan Karang Selatan adalah hak negara yang memiliki wilayah perairan di sekitar karang itu dan pihak-pihak yang bersengketa atas pulau tersebut pun diharapkan untuk tidak manarik batas perairan.

Kasus ini, tentu saja mengingatkan Indonesia atas pahitnya kehilangan blok Ambalat, yakni Pulau Sipadan dan Ligitan. Berbekal peta Malaysia pada 1979, yang mendapat banyak protes dari negara sekitarnya karena dianggap seenaknya mencaplok wilayah negara lain, Malaysia pun mengeksplorasi wilayah kaya minyak bumi dan gas tersebut.

Persolan Karang Selatan pun kini berpotensi besar menimbulkan sengketa serupa, yang juga akan berdampak pada batas wilayah Indonesia. Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Luar Negeri, seharusnya sudah menyiapkan langkah-langkah antisipasi, tak hanya berbekal diplomasi yang lemah, untuk mencegah terulangnya kembali kasus pencaplokan wilayah, di antaranya dengan segera merampungkan UU Batas Wilayah Negara.

Astri Istiana Ihsan
Published @ Jurnal Nasional, 12 Agustus 2008

Pesan moral:
Be aware, Indonesia bisa terseret urusan Sengketa Singapura-Malaysia!

Kharisma Iwan Fals

16 Agustus 2008, bertepatan dengan ulang tahun fans club Iwan Fals, OI (Orang Indonesia) yang ke sembilan, gw akhirnya memutuskan untuk nemenin Idjonk nonton konser bintang favoritnya itu.

Halaman rumah Iwan Fals di Leuwinanggung bener-bener sukses disulap jadi panggung konser spektakuler. Meski tampang-tampang penontonnya sangar, tp konsernya bener-bener damai. Sumpah, gw terkagum-kagum..

Oh ya, ada penampilan temen-temen Iwan Fals dari SWAMI and Kantata Takwa, plus Rendra yang ikut nyumbang baca puisi. Trus ada beberapa undangan menteri juga, kayak Meutia Hatta, MS. Kabban.

Bukan keputusan yang salah. What a great Indonesia Legend!! What a big wonderful show!! Ga salah kalo dia sangat dicintai, Iwan Fals bener-bener berkharisma. Tampil sederhana, tapi all out, keren banget..! Meskipun gw ga tau lagu-lagunya, but overall, gw sangat menikmati konser malam itu. Two Thumbs up..!! Hebat..!!

Ladies Day Out, Beib...

Ternyata gw udah ninggalin bangku kuliah hampir setahun yang lalu. Waktu berlalu cepet banget. Ga kerasa. Bener-bener baru sadar beberapa hari yang lalu waktu hang out ama cewek-cewek krim. Hahaha..goQil..! Walaupun ama Nida bisa dibilang tetanggaan, ternyata gw udah ga ketemu dia selama tujuh bulan. Gila banget ya?!

Keren yach view-nya.. (Pelangi Sky Dining)

Setelah beberapa kali gagal ngumpulin anak-anak, akhirnya bisa ngumpul juga. Ladies day out, serunya...! Pulang kerja, janjian ketemu di Pelangi. Yasudh, nongkrong di Sky Dining. Lupa, Jumat malam pasti rame banget. Bener aja, udah kayak pasar malem gitu.

Hehehe, wonder ama Smoothies.. Menang gede doang, rasanya aneh..

Ga pa2 deh, yang penting foto2 ga boleh ketinggalan dunk. Secara banci tampilnya belom pada ilang, hihihi.. Trus kita nonton Wall.e yang jam 8.55 malem. Dapet tempat duduknya ga pewe lagi, keempat dari bawah. Untung Wall.e kocak...

Dari Pelangi, jalan lagi cari makan. Ke Sabang deh.. Abis itu nginep di apartemen Nida. Ngobrol ampe jam empat pagi.

Ternyata belom banyak yang berubah. Leni tetep progresif, Nida tetap di bawah pengawasan ketat, Tuyuwl tetep susah banget dikorek informasinya, dan gw (biarkan mereka yang menilai)..

Udah deh, pulang..Guys, seru bgt..!

We are Crimers-->Nida, Leni, Tuyuwl and me...

(Minus Dity, Nilam, Husnul, Emma)

Rada-rada efek Holga yach...

15 August 2008

Chocolatos Lezatos..









Hmmm, liputan gw kemarin bikin temen-temen jealous.. Termasuk redaktur wisata mbak Ari n si Siska (katanya berat badannya naik 2 kg setelah pulang liputan dari Palembang, makan mulu..!!). Gimana enggak? gw liputan cooking class cokelat sama Guillaume Bonnety di Shangri-La. Setelah terbit di Jurnas, baru nanti gw publish ke blog tulisan gw. Okeh? Skarang nikmatin aja foto-foto cokelatnya n Bonnety yang so sexy dengan logat Perancisnya..^_^..

Festival Jajanan Bango



Jelajahi Kuliner Nusantara


KULINER tradisional nusantara bangkit kembali. Setelah sempat terhantam arus hidangan cepat saji, yang cenderung kebarat-baratan dan berkontribusi atas menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, santapan tradisional kembali naik daun.

Kini bisa dengan mudah ditemukan kedai atau restoran yang mengkhususkan kuliner tradisional. Santapan Sunda, Betawi, Manado, Makassar, beberapa diantara hidangan asli kekayaan nusantara. Nuansa pedesaan ataupun khas daerah menjadi konsep populer. Ini menegaskan kecintaan terhadap budaya Indonesia makin menguat.

Kecenderungan masyarakat kembali pada kuliner tradisional Indonesia ini ditangkap dengan baik oleh PT. Unilever Indonesia, Tbk, produsen merek Kecap Bango. Merek ini telah menemani dapur-dapur Indonesia sejak 80 tahun silam. Memenuhi kerinduan masyarakat, digelarlah Festival Jajanan Bango (FJB), yang kini memasuki tahun keempat.

FJB 2008 terbilang paling istimewa. Bertepatan perayaan ulang tahun Kecap Bango ke-80 dan program pemerintah Tahun Kunjungan Wisata (Visit Indonesia Year 2008), FJB menghadirkan 80 makanan tradisional khas Indonesia dari 40 stand yang ikut berpartisipasi.

Momen ini digunakan pula peluncuran buku bertajuk “80 Warisan Kuliner Indonesia, yang berisi kumpulan resep warisan nenek moyang dan sejarah di balik ragam hidangan itu.

Gelaran FJB sekaligus menegaskan kembali komitmen Kecap Bango melestarikan aneka hidangan tradisional nusantara. Ini juga menjdi ajang memperkenalkan kekayaan nusantara lewat kuliner, baik kepada masyarakat Indonesia maupun mancanegara.

FJB yang digelar di kota Jakarta pada 8-9 Agustus ini menghadirkan pula pesta kambing guling terbanyak di Indonesia, bahkan dunia. Dengan membagikan 80 ekor kambing guling buatan Pondok Sate Pejompongan kepada delapan panti asuhan di Jakarta, 800 karyawan pabrik Subang dan para pengunjung. Aksi spektakuler ini pun mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dengan rekor “Penyajian Kambing Guling Terbanyak Se-Indonesia”.

Suasana FJB di Jakarta begitu meriah. Ribuan pengunjung menyesaki area Parkir Selatan Senayan, sejak hari pertama FJB dibuka. Ada yang datang bersama teman, kerabat, dan keluarga. Antusiasme masyarakat tak terbendung melihat ragam hidangan tradisional dari berbagai daerah. Makanan yang mungkin sempat terlupakan dan telah lama tak disantap disajikan di FJB. Antrean panjang di stand-stand jajanan tak terhindarkan. Dibangun pula playground agar anak-anak bisa bermain. Suasana benar-benar terasa hangat.

Wahhhh, ada es durian Kantin Sakinah Bandung. Waduw, duriannya gede-gede banget. Kamu di mana? Buruan ke sini sekarang, banyak banget makanan tradisional,” kata seorang pengunjung antusias melalui percakapan telepon.

Banyak pula yang rela berlari-larian dan berdesak-desakan agar tak kehabisan makanan. Meja dan kursi yang disediakan nyaris selalu penuh. Sebagai orang Makassar yang hanya bisa pulang kampung setahun sekali, saya tak mau melewatkan kesempatan menikmati salah satu makanan kegemaran, coto Makassar. Puas sekali bisa menyantap hidangan asal tanah kelahiran saya ini.

Namun, tak ingin berpuas di situ saja. Saya pun menyusuri stand-stand jajanan lain. Ada jajanan pasar yang menjual cincau ciragil, es doger, es cendol, es blewah, ada penjual kerak telor asli Betawi, nasi tutug oncom khas tanah Pasundan, nasi jomblong dari Cirebon, bubur Pontianak, kikil sapi Surabaya, tengkleng Solo, ajengan Bali, gabus pucung dan berbagai kedai jajanan yang sudah tak asing lagi bagi warga Jakarta.

Para penjual tak sekadar menjajakan hidangan. Mereka tak sungkan-sungkan memberikan penjelasan hingga pembeli tak hanya sekadar menyantap, juga mengenal dengan baik santapan warisan nenek moyang.

Ketika saya menyinggahi stand Bubur Pontianak Bu Jenah, dengan ramah salah seorang penjual menjelaskan. “Bubur Pontianak ini bubur yang isinya kacang, ikan teri, emping, tongcay, lobak asing, yang disiram dengan minyak bawang putih dan kuah daging,” katanya sembari tersenyum. Dia tetap sibuk melayani pesanan.

Pemandangan serupa ketika saya mengunjungi stand Saung Kiray Bogor, yang menjajakan nasi tutug oncom. “Ini terdiri dari nasi, pakai oncom hitam yang dibakar, ayam, tahu, gorengan oncom, ditambah kencur dan bumbu-bumbu lainnya,” ucap sang pedagang.

Satu lagi yang menarik perhatian saya dan banyak pengunjung lainnya, adalah penjual es goyang. Ini mengingatkan saya pada jajanan semasa masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Asyiknya bernostalgia.

Sayang, hari pun makin larut. Saya harus segera beranjak pulang. Namun, saya benar-benar puas telah menikmati beberapa hidangan tradisional yang lama tak dijumpai.

Jelajah kuliner tradisional saya pun harus berakhir dengan perut kekenyangan. Tak sabar rasanya menantikan kejutan-kejutan baru di FJB berikutnya.

Astri Istiana Ihsan

Published at Jurnal Nasional, 16Agustus 2008

Salam dari Rawamangun

Haykzz.. Astri Ihsan.. Seorang wartawan muda yang masih perlu banyak belajar.. Rajin-rajin yach kunjungi blog saya.. Seperti tulisan di atas, selalu ada sesuatu yang luar biasa dari hal-hal yang mungkin terlihat sangat biasa.. Senang sekali kalau bisa bertukar pikiran..

Regards,
as3