30 June 2009

Zelaya Berencana Pulang ke Honduras

Setelah dikudeta dan diasingkan ke Kosta Rica oleh prajuritnya sendiri akhir pekan lalu, Presiden Honduras Manuel Zelaya kemarin (30/6) berjanji akan segera kembali ke tanah airnya. Zelaya mengundang para pemimpin dari Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) untuk menemaninya pulang pada Kamis (2/7) mendatang.

“Saya akan ke Tegucigalpa Kamis nanti. Saya presiden terpilih, dan saya akan memenuhi masa jabatan empat tahunku,” kata Zelaya seusai menghadiri pertemuan OAS di Managua, ibukota Nikaragua, seperti diungkap Al Jazeera.

Zelaya berani bersuara lantang setelah mendapat banyak dukungan dari negara-negara di Amerika. Mulai dari mitra dekatnya, Presiden Venezuela Hugo Chavez, hingga Presiden Amerika Serikat Barack Obama, yang menyatakan kecaman keras atas aksi kudeta tersebut.

“Kami yakin bahwa kudeta merupakan hal yang tidak sah dan Presiden Zelaya tetap menjadi presiden yang terpilih secara demokratis di sana,” kata Obama.

“Akan menjadi preseden yang sangat buruk jika kita mulai bergerak ke belakang menuju era di mana kita melihat kudeta militer sebagai sebuah alat transisi politik ketimbang demokratis.”

Para pemimpin OAS meminta kedudukan sah dan diakui oleh dunia di Honduras dikembalikan ke Zelaya. Sejumlah negara telah menarik duta besar mereka dari Honduras. Negara-negara Amerika Tengah menyatakan akan menghentikan sementara perdagangan dengan Honduras. Chaves menyatakan akan menghentikan penjualan minyak murah ke negara pengekspor kopi tersebut.

Konflik internal berujung kudeta ini dimulai dari pertikaian mengenai referendum yang seharusnya akan digelar Zelaya pada akhir minggu lalu. Oleh sebagian pihak, termasuk militer, kongres, dan Mahkamah Agung, referendum tersebut dianggap sebagai upaya Zelaya untuk memperpanjang masa jabatannya saja. Saat ini Honduras dipimpin oleh presiden sementara, Roberto Micheletti, hingga masa jabatan Zelaya berakhir pada Januari tahun depan.

Hanya beberapa jam sebelum dilakukannya pemungutan suara referendum, Minggu (28/6) pagi lalu, rumah Zelaya pun dikepung oleh militer. Dengan mendobrak pintu dan mengeluarkan tembakan, sejumlah prajurit mengusir paksa Zelaya, yang ketika itu hanya mengenakan piyama, dan menerbangkannya ke Kosta Rika.

Tak lama berselang, Micheletti pun diambil sumpah untuk menggantikan Zelaya. Ketua kongres yang separtai dengan Zelaya itu mengatakan bahwa mereka tidak melakukan kudeta, melainkan aksi yang telah sesuai hukum dan mendapat persetujuan dari Mahkamah Agung.

Sementara itu, situasi Tegucigalpa, ibukota Honduras pun rusuh. Meski jam malam diberlakukan selama 48 jam sejak Minggu, sekitar 1.500 pendukung Zelaya, tetap turun ke jalan dengan memakai topeng dan membawa tongkat pemukul. Mereka akhirnya bentrok dengan aparat keamanan pada Senin (29/6) lalu.

Para pemrotes mengejak prajurit, membakar ban di jalan, serta menutup gerbang menuju istana kepresidenan. Aksi tersebut dibalas dengan sempotan gas air mata oleh pasukan militer. Namun, situasi ibukota dilaporkan cukup tenang kemarin. Militer menjaga dan berpatroli ketat di berbagai sudut jalan.

Astri Ihsan/Reuters/AP/BBC/Al Jazeera

Pesawat Yaman Hilang di Samudera Hindia

Belum lama pesawat Air France mengalami kecelakaan di Samudera Atlantik, dunia kembali dikejutkan dengan insiden yang menimpa pesawat penumpang Yemenia Air. Pesawat Airbus 310 asal Yaman, yang membawa 153 orang penumpang itu, diperkirakan mengalami kecelakaan dan hilang di Samudera Hindia, dekat kepulauan Komoros, Selasa (30/6). Baru tiga jenazah yang berhasil ditemukan.

“Kami tidak tahu jika ada yang bisa bertahan hidup,” kata Wakil Presiden Komoros, Idi Nadhoim.

Di antara penumpang pesawat tersebut, terdapat tiga orang bayi dan 11 kru. Menurut keterangan pejabat maskapai Yemeni Air, kebanyakan penumpang diperkirakan berasal dari Komoros dan Perancis. Pesawat tersebut sesuai jadwal diberangkatkan dari ibukota Yaman, Sana'a, menuju ibukota Komoros, Maroni.

“Kondisi cuaca sangat buruk, angin kencang dan ombak besar. Kecepatan angin tercatat di bandara sebesar 61 kilometer per jam,” kata deputi general manager Yemenia Air Muhammad al-Sumairi.

“Kami masih belum menerima informasi mengenai penyebab kecelakaan dan jumlah korban.”

Menurut informasi awal dari Bandara Paris, Yemenia Air Airbus 330 dengan 147 penumpang dan 11 kru terbang dari Paris ke Sana’a pada Senin (29/6). Pesawat itu juga sempat menyinggahi kota Marseille, Perancis, yang memiliki komunitas Komoros cukup besar. Setelah mendarat di ibukota Yaman, penumpang yang akan ke Komoros pun transit dan berganti pesawat.

Menteri Luar Negeri Perancis Bernard Kouchner menyatakan bahwa 66 orang penumpang adalah warga negara Perancis. Menurut Kouchner, kedutaan Perancis di Moroni telah dikerahkan untuk membantu keluarga korban.

Lokasi pasti terjadinya kecelakaan belum diketahui. Namun, BBC melansir keterangan dari seorang petugas penerbangan sipil bahwa pesawat tersebut kemungkinan mengalami kecelakaan hanya berjarak beberapa kilometer dari Moroni. Ada laporan yang mengatakan bahwa pesawat tesebut sempat mencoba melakukan pendaratan, namun gagal dan menghilang.

Komoros merupakan wilayah kepulauan dengan tiga pulau vulkanik, yakni Grande Comore, Anjouan and Moheli, yang berjarak sekitar 300 kilometer dari barat laut Madagaskar. Pesawat Airbus 310 tersebut memang digunakan oleh Yemenia Air untuk melayani penerbangan dari Sanaa menuju Moroni. Yemenia Air, 51 Persen dimiliki oleh pemerintah Yaman dan sisanya 49 persen dimiliki oleh pemerintah Arab Saudi.

Komoros sendiri tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan penyelamatan laut. Pencarian kini dilakukan oleh dua pesawat militer dan sebuah kapal laut Perancis. Menurut, keterangan penduduk setempat, ratusan orang kini mendatangi bandara untuk mencari informasi.

Ini bukan kecelakaan udara pertama yang terjadi di atas wilayah perairan tersebut. Pada 1996, sebuah pesawat Etiopia yang tengah dibajak, juga jatuh di area yang sama. Sebanyak 175 penumpang tewas dalam kecelakaan itu.

Astri Ihsan/Reuters/AFP/BBC/Al Jazeera

Ledakan Gas di Italia Tewaskan 10 Orang

Sebuah ledakan besar terjadi di kota Viareggio, Italia Utara, ketika dua kereta pengangkut gas alam cair keluar dari relnya, Senin (30/6) menjelang tengah malam. Kereta pengangkut, yang berangkat dari La Spezia hendak menuju Pisa, tersebut, menghantam rumah-rumah di sekitarnya dan menyebabkan terjadinya kebakaran besar. Insiden ini menewaskan sepuluh orang dan mencederai setidaknya 50 orang lainnya.

Tujuh orang korban, termasuk seorang anak, tewas ketika rumah mereka roboh dihantam kereta. Dua orang lagi tewas di jalan yang berdekatan dengan rel dan seorang lain meninggal di rumah sakit. Semua korban tewas dalam kondisi yang menyulitkan untuk diidentifikasi.

“Kondisi jenazah menyebabkan kami sangat sulit mengidentifikasi mereka,” kata juru bicara polisi, Raffaele Gargiulo.

Ledakan ini juga menyebabkan setidaknya 50 orang mengalami luka-luka, 35 orang diantaranya dilarikan ke rumah sakit dengan luka bakar. Menurut agen berita ANSA, tiga orang anak berhasil selamat setelah ditarik dari reruntuhan rumah mereka, kemarin (30/6). Sekitar 1.000 orang terpaksa dievakuasi dari rumah mereka.

Sementara, sebagian besar korban yang cedera juga menderita luka bakar. dua orang mekanik kereta hanya menderita luka ringan. Menurut keterangan keduanya, mereka baru merasakan kejanggalan, sekitar 200 meter di luar stasiun, sesaat sebelum kereta melenceng dari jalurnya.

Kru penyelamat masih terus masih terus melakukan pencarian untuk mencoba menemukan para korban yang mungkin masih terperangkap di bawah reruntuhan rumah. Sebanyak 300 pemadam kebakaran dikerahkan untuk melakukan pencarian di antara puing-puing bangunan dan rumah-rumah yang terbakar.

“Lokasinya sangat mengesankan. Ada puluhan kendaraan yagn dihantam ledakan hebat dan rumah-rumah roboh,” kata juru bicara pemadam kebakaran, Luca Cari.

Sejalan dengan upaya pencarian yang masih terus dilakukan, jumlah korban diperkirakan masih akan bertambah. Asap tebal dan bau hangus terbakar memenuhi wilayah sekitar lokasi kejadian.

Menurut Gargiulo, insiden tersebut terjadi pada pukul 23.00. Penyebab pasti kecelakaan masih belum diketahui, menurut Gargiulo kemungkinan besar insiden disebabkan oleh rusaknya jalur kereta atau masalah dengan sistem pengereman kereta.

Tim material berbahaya, yang khusus menangani ancaman nuklir, senjata biologi ataupun kimia, didatangkan untuk melakukan investigasi, dan mencegah terjadi ledakan lagi dari tanki gas lainnya.

Astri Ihsan/Reuters/AP/BBC

Irak Rayakan Kedaulatan Nasional

Irak bagai terlahir kembali, setelah tenggat penarikan mundur pasukan Amerika Serikat berakhir kemarin (30/6). Rakyat Irak merayakan “kebebasannya” dengan pesta kembang api di wilayah ibukota Baghdad. Kini Irak bertanggungjawab penuh atas keamanannya sendiri. Pemerintah Irak menetapkan 30 Juni menjadi libur nasional dan memproklamirkannya sebagai Hari Kedaulatan Nasional Irak.

“Penarikan mundur pasukan Amerika dari seluruh kota telah selesai sekarang, setelah segalanya telah mereka korbankan atas nama keamanan. Kini kita merayakan restorasi kedaulatan,” kata Sadiq al-Rikabi penasihat senior Perdana Menteri Nuri al-Maliki dilansir AP.

Langit kota Baghdad dihiasi dengan warna-warni kembang api, menggantikan bom yang menghantui kehidupan warga selama beberapa tahun terakhir. Ribuan orang turun ke jalan sembari menyanyikan lagu-lagu patriotik. Mereka mengabaikan imbauan Wakil Presiden Tariq al-Hashemi untuk menghindari tempat-tempat keramaian.

“Semua rakyat Irak berbahagia hari ini karena sekarang merupakan hari pertama dimana mereka akan melindungi diri mereka sendiri,” kata juru bicara pertahanan sipil Baghdad, Tahsin al-Sheikhli kepada AFP.

Meski begitu, keamanan tetap ketat. Jumlah pos pemeriksaan di Baghdad ditingkatkan. Pengecekan identitas dan pendeteksian bom juga gencar dilakukan kendaraan milik militer Irak dihiasi dengan bunga dan bendera negara ikut berpatroli di tengah pesta.

Pasukan AS yang telah menginvasi wilayah itu sejak 2003 silam, sudah meninggalkan kota-kota di Irak, menyisakan hanya sejumlah kecil pasukan perang dan pelatih militer, yang juga akan segera ditarik mundur pada September 2010 nanti. Militer AS akan melanjutkan operasi perangnya di area-area pedalaman dan dekat perbatasan, tapi hanya dengan izin dari pemerintah Irak.

Penarikan pasukan Amerika ini sesuai dengan misi Presiden Barack Obama, untuk mengalihkan konsentrasi perang dari Irak, yang dianggap sudah mulai tenang, ke wilayah Afganistan, yang masih gencar bergulat dengan keberadaan Taliban. Kini, Irak diberikan kebebasan penuh untuk kembali mengurusi negaranya sendiri.

“Ya, Kami pikir Irak telah siap dan Irak juga berpikir bahwa mereka telah siap,” kata duta besar AS Christopher Hills.

Proses penarikan mundur pasukan ini sempat menuai kekhawatiran. Setelah situasi Irak mulai tenang dengan tingkat kekerasan dalam kurun dua tahun terakhir menurun drastis, menjelang tenggat, situasi Irak justru kembali memanas. Terjadi serangkaian bom di sejumlah kota, khususnya Baghdad dan Kirkuk, yang menewaskan lebih dari 250 orang dalam 10 hari terakhir. Serangan tersebut benar-benar menjadi ujian cukup keras bagi pemerintah Irak di masa transisinya.

Setelah memegang kendali penuh atas kedaulatannya, kini pemerintah Irak akan menanggung beban yang jauh lebih besar. Berbagai persoalan telah menghadang, di antaranya melakukan usaha rekonsiliasi antara kelompok Sunni, Syiah, dan Kurdi, yang menjadi salah satu masalah utama di negeri ini selama bertahun-tahun. Begitu pula dengan persoalan-persoalan sosial, politik dan pembangunan.

Edisi Cetak, Jurnal Nasional/1 Juli 2009

Astri Ihsan/AP/AFP/BBC/Al Jazeera