08 December 2009

AS Bawa Sinyal Positif ke Kopenhagen

SINYAL positif menghampiri Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark. Amerika Serikat (AS), negara penghasil polusi terbesar kedua di dunia, baru saja mendeklarasikan bahwa gas rumah kaca mengancam kesehatan manusia.

Lembaga Perlindungan Lingkungan AS (EPA) kini memiliki kuasa untuk memerintahkan pemangkasan emisi tanpa perlu mendapat persetujuan dari Kongres. Pemimpin EPA Lisa Jackson mengatakan bahwa bukti spesifik seputar perubahan iklim jelas menunjukkan bahwa gas rumah kaca mengancam kesehatan publik dan kesejahteraan rakyat Amerika.

Hal ini tentu saja akan mengubah posisi AS dalam konferensi yang akan berlangsung hingga dua pekan ke depan ini. Dikutip Al Jazeera, Jackson telah menandatangi perintah untuk mendeklarasikan enam gas rumah kaca, termasuk karbondioksida, sebagai polutan yang menjadi subyek regulasi pemerintah.

Deklarasi tersebut juga membuka jalan bagi EPA untuk mengeluarkan standar mengenai seberapa banyak karbon yang boleh dihasilkan oleh pabrik, bangunan, dan kendaraan di AS.

“Ini berarti bahwa kami tiba dalam pembicaraan iklim di Kopenhagen dengan sebuah demonstrasi yang jelas mengenai komitmen kami untuk menghadapi tantangan global ini,” kata Jackson.

Deklarasi ini seharusnya memantapkan Presiden AS Barack Obama untuk memenuhi janji pemangkasan emisi. Obama berjanji bahwa AS akan memangkas emisinya sekitar 17 persen, dari tingkat yang ditetapkan di 2005, pada 2020 mendatang

Joe Mandelson, direktur kebijakan di National Wildlife Federation, mengatakan bahwa Obama kini memiliki otoritas tambahan. Jika kongres tidak meloloskan legislasi iklim, maka EPA yang bergerak maju untuk memenuhi tujuan itu.

Peserta konferensi pun menyambut baik keputusan AS itu. Duta iklim Perancis Brice Lalonde, dikutip AFP, mengatakan bahwa hal itu akan memberikan kredibilitas tambahan terhadap komitmen AS. Konferensi diperkirakan akan mencapai puncaknya ketika Obama dan lebih dari 100 pemimpin negara lainnya hadir di Kopenhagen minggu depan.

Sebelumnnya, Uni Eropa juga berjanji untuk melakukan pengurangan 20 persen gas kaca pada 2020, Jepang dan Australia menawarkan pemangkasan sebesar 25 persen. Sementara, China, sebagai penghasil polusi terbesar dunia, belum mengeluarkan pernyataan resmi, hanya menyatakan akan memperlambat pengeluaran emisi. India menawarkan perlambatan 20 hinggga 25 persen pertumbuhan emisi.

Mengenai pembiayaan, negara-negara kaya menyatakan dukungannya untuk memberikan paket bantuan adaptasi bagi negara-negara miskin selama tiga tahun, sebesar US$ 10 miliar per tahunnya.

Dana tersebut akan digunakan untuk menyediakan perlindungan laut, modifikasi agrikultural dan juga menginstal sumber-sumber energi bersih. Kepala negosiator AS, Jonathan Pershing, mengatakan bahwa Washington akan berkontribusi secara adil dalam paket bantuan itu.

Astri Ihsan/BBC/AP/AFP/Al Jazeera

Diterbitkan di Jurnal Nasional

Kopenhagen dan Konferensi Dua Pekan yang Menentukan

LAMA terdengar gaungnya, konferensi perubahan iklim akhirnya mulai digelar di Kopenhagen, Denmark awal pekan ini. Konferensi ini merupakan salah satu pertemuan dunia paling bersejarah abad ini mengingat lebih dari 190 negara dengan 15 ribu partisipan hadir.

Mereka berkumpul untuk membahas masalah yang paling mengancam bumi saat ini, yakni perubahan iklim, segala implikasinya terhadap kehidupan makhluk dunia, dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasinya. Konferensi ini untuk membahas pengganti dari Protokol Kyoto 1997, yang akan habis masa berlakunya 2012 mendatang.

Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen mengumumkan bahwa ada 110 kepala negara dan pemerintahan yang akan menghadiri konferensi dua pekan ini. Konferensi ini merupakan pertemuan ke 15 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan merupakan puncak dari proses pergerakan yang digelar di Bali dua tahun lalu.

Salah satu pembahasan utama dalam konferensi adalah pemangkasan emisi global. Dr. Rajendra Pachauri, ketua Panel Antar-pemerintah Mengenai Perubahan Iklim PBB, seperti dikutip dalam press release UNFCCC, mengatakan bahwa emisi global harus mencapai puncaknya pada 2015.

Setelah itu, emisi global harus dipangkas 25 persen hingga 40 persen pada 2020 dan setidaknya 50 persen pada 2050, khususnya di negara-negara industrial. Konsekuensi dari perubahan iklim adalah terjadinya pemanasan global, kenaikan level air laut, kekeringan, longsor, meningkatnya frekuensi kedatangan badai tropis, dan kepunahan berbagai spesies.

Namun, perlu diingat pula, meski skema ini telah dijalankan, kesempatan untuk terhindar dari konsekuensi bencana yang akan terjadi di bumi akibat perubahan iklim hanya 50 persen saja. Kenaikan temperatur bumi sudah tak terhindarkan lagi. Associated Press melansir Organisasi Meteorologis Dunia bahwa bahwa 2009 menjadi tahun terhangat selama ini.Yang bisa dilakukan saat ini adalah mencegah agar kenaikan temperatur tetap di bawah dua derajat Celsius.

“Kita telah mencapai tenggat dan tidak ada lagi jalan kembali,” katanya.

Menurut negosiator perubahan iklim PBB, Yvo de Boer, harus ada implementasi yang cepat dan efektif untuk memangkas dan membatasi emisi. Konferensi ini juga diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan mengenai pembagian beban antara negara-negara kaya dan berkembang dalam memerangi perubahan iklim.

Dilansir Al Jazeera, gaung perubahan iklim mulai terdengar ketika dua tahun lalu 152 ilmuwan dari 30 negara mengungkap bukti bahwa temperatur global meningkat. Mereka mengatakan bahwa jika emisi karbondioksida tak bisa dikontrol, maka pemanasan global akan berlanjut.

Masing-masing negara membawa kepentingannya sendiri. Negara-negara kaya dengan keuntungan industrialnya, negara-negara pulau membawa kekhwatiran mengenai ancaman terhadap keberadaan mereka akibat peningkatan air laut. Delegasi dari Afrika berbicara mengenai kekeringan dan kekurangan pangan, sementara sisanya berbicara mengenai efek industri, lapangan kerja dan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Perubahan iklim tidak sekedar mengenai alasan ilmiah, namun juga penyediaan dana dalam jumlah besar. Selain dituntut untuk memangkas emisinya, negara-negara kaya juga diminta memberikan dana dalam jumlah tertentu untuk membantu negara miskin memerangi perubahan iklim, termasuk menyediakan teknologi yang lebih bersih.

Bagi negara-negara kaya di Eropa dan AS, pertimbangannya kini adalah tentang biaya ekonomi dan politis dari pemangkasan emisi. AS, sebagai negara penghasil polusi terbesar dunia, mengatakan akan berkontribusi “secara adil” kepada negara-negara yang lebih miskin, dan enggan untuk menyebutkan berapa jumlah yang mereka mau bayarkan. Sementara, kebanyakan negara-negara berkembang hanya mau “bergerak” bila mereka menerima insentif finansial yang besar.

Akankah ada titik temu dari seluruh permasalahan ini? Pembahasan dalam dua minggu ke depan di Kopenhagen akan menjadi penentunya. Semua tentu berharap masih akan ada harapan di masa depan bagi bumi dan keberlangsungan makhluk hidup yang mendiaminya.

Astri Istiana Ihsan/Reuters/AP/Al Jazeera

Diterbitkan di Jurnal Nasional