18 August 2008

Sengketa Pulau Batu Putih

Mendengar nama Pulau Batu Putih, mungkin banyak orang yang akan mengerutkan kening, tak tahu atau baru pertama kali mendengar namanya. Namun, di Malaysia ataupun di Singapura (yang disebut Pedra Branca), Pulau Batu Putih sangat tersohor. Bukan saja karena keanehan bentuknya, tapi juga karena sengketa antara Singapura dan Malaysia yang masing-masing mengklaim berhak atas pulau tersebut.

Pulau Batu Putih adalah pulau granit seluas 8.560 m2, yang berlokasi di antara pertemuan Selat Singapura dan Laut China Selatan. Nama pulau itu tercipta dari pemandangan kotoran burung yang kemudian mengeras dan membatu dalam tahunan prosesnya. Di pulau tersebut terdapat sebuah mercusuar Horsburgh, yang dibangun oleh Inggris pada 1851.

Pulau Batu Putih telah menjadi sengketa antara Singapura dan Malaysia sejak 29 tahun silam. Pulau ini konon telah didaftarkan oleh Singapura selama lebih dari seabad ketika pada 21 Desember 1971 Malaysia merilis peta wilayah di mana pulau tersebut termasuk dalam yuridiksi mereka. Sejak itu pula, kedua negara saling bersikukuh menyatakan bahwa pulau tersebut adalah bagian dari wilayah mereka.

Kasus sengketa Pulau Batu Putih, yang juga melibatkan beberapa pulau terdekat, seperti Karang Tengah dan Karang Selatan ini, telah mendapat campur tangan dari International Court of Justice (ICJ).

Sesuai dengan keputusan ICJ di Den Haag pada 23 Mei 2008, Pulau Batu Putih ditetapkan sebagai bagian dari wilayah kedaulatan Singapura, Karang Tengah menjadi milik Malaysia, sementara Karang Selatan masih akan dibahas lebih lanjut.

Meski oleh beberapa pihak keputusan ICT tersebut dianggap sebagai win-win solution dan kedua negara sebelumnya juga telah sepakat untuk menghormati dan menerima keputusan tersebut, namun pemerintah Malaysia tak mau menyerah begitu saja.

Menteri Luar Negeri Malaysia Rais Yatim pun menyatakan akan terus melakukan pencarian bukti untuk menguatkan klaim bahwa pulau tersebut adalah milik Malaysia. Internal Malaysia sendiri saling menyalahkan. Tim Malaysia di ICJ dianggap gagal memberikan dokumen historikal yang kuat, termasuk sebuah surat dari pemerintah kolonial Inggris yang meminta izin kepada sultan Johor ketika akan membangun mercusuar di pulau tersebut.

Melihat jarak kedekatan, yakni terletak 24 nautikal mil dari Singapura, dan hanya tujuh nautikal mil dari Johor, juga menjadi alasan utama Malaysia merasa seharusnya memenangkan perebutan status kepemilikan dari ICT.

Singapura pun balik merespons. Menteri Hukum Singapura K Shanmugan mengatakan bahwa Negeri Singa ini akan menunggu dan melihat bukti baru apa yang akan dibawa oleh Malaysia.

Sementara itu, beberapa pihak juga mempertanyakan mengenai bentuk Pulau Batu Putih ini, apakah benar sebuah pulau ataukah hanya sebuah karang. Karena, menurut Konvensi Hukum Laut PBB, karang yang tidak menyokong keberlangsungan habitat manusia atau kehidupan ekonominya sendiri, tidak memiliki zona eksklusifnya sendiri.

Lebih lanjut, Malaysia dan Singapura nanti akan melakukan survei bersama di sekitar area Pulau Batu Putih, Karang Tengah dan Karang Selatan untuk menentukan koordinat yang tepat dari teritorial laut dan zona ekonomi eksklusifnya.

Bila status Pulau Batu Putih dan Karang Tengah telah diputuskan oleh ICT (meski masih dalam perdebatan), masih ada satu persoalan lagi yang menunggu, yakni Karang Selatan. Pulau ini tak hanya akan melibatkan Malaysia dan Singapura, namun juga Indonesia.

Mengenai persoalan ini, Malaysia pun kembali memasang sikap ngototnya. Pekan lalu, Rais Yatim mengungkapkan akan mengambil berbagai langkah demi mendapatkan Karang Selatan. Yatim juga mengungkapkan bahwa, baik Malaysia, Singapura, maupun Indonesia harus memahami bahwa Karang Selatan berlokasi di wilayah perairan Malaysia.

Menurut ICJ sendiri, Karang Selatan terletak tumpang tindih antara Pulau Batu Putih dan Karang Tengah. ICJ pun memutuskan bahwa kedaulatan Karang Selatan adalah hak negara yang memiliki wilayah perairan di sekitar karang itu dan pihak-pihak yang bersengketa atas pulau tersebut pun diharapkan untuk tidak manarik batas perairan.

Kasus ini, tentu saja mengingatkan Indonesia atas pahitnya kehilangan blok Ambalat, yakni Pulau Sipadan dan Ligitan. Berbekal peta Malaysia pada 1979, yang mendapat banyak protes dari negara sekitarnya karena dianggap seenaknya mencaplok wilayah negara lain, Malaysia pun mengeksplorasi wilayah kaya minyak bumi dan gas tersebut.

Persolan Karang Selatan pun kini berpotensi besar menimbulkan sengketa serupa, yang juga akan berdampak pada batas wilayah Indonesia. Pemerintah Indonesia, khususnya Departemen Luar Negeri, seharusnya sudah menyiapkan langkah-langkah antisipasi, tak hanya berbekal diplomasi yang lemah, untuk mencegah terulangnya kembali kasus pencaplokan wilayah, di antaranya dengan segera merampungkan UU Batas Wilayah Negara.

Astri Istiana Ihsan
Published @ Jurnal Nasional, 12 Agustus 2008

Pesan moral:
Be aware, Indonesia bisa terseret urusan Sengketa Singapura-Malaysia!

No comments:

Post a Comment