12 December 2008

Siaran Bunuh Diri Timbulkan Kontroversi di Inggris


Craig Ewert, mantan ilmuan komputer dari Chicago yang menderita suatu penyakit syaraf berbahaya Motor Neurone Disease (MND), tengah berbaring di tempat tidur. Dia ditemani oleh sang istri. Perlahan Ewert mengambil obat tidur. Dia juga meminta segelas jus apel untuk menghilangkan bau obat yang menyengat dan dibantu untuk menelan “pil kematiannya”. Dengan menggunakan gigi, Ewert melepaskan ventilator. Dia pun meninggal sembari menggenggam tangan istrinya.

Sebelum ajal menjemput, Ewert sempat menuturkan bahwa pilihan mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara seperti itu merupakan jalan untuk mengurangi derita bagi dirinya dan keluarga.

Kejadian pada 2006 tersebut terekam dalam kamera dan disiarkan oleh Sky TV Inggris dengan judul “Right to Die?” Menurut sang istri, Mary Ewert, suaminya sangat antusias menginginkan kematiannya difilmkan untuk menunjukkan bahwa sebuah penyakit yang sulit disembuhkan tidak selalu harus berakhir dengan kematian yang menyakitkan. Menurutnya, memilih bunuh diri akan lebih nyaman ketimbang menderita berkepanjangan.

“Bagi Craig, suamiku, mengizinkan kamera untuk memfilmkan momen-momen terakhirnya di Zurich adalah tentang mengakhiri kehidupan dengan jujur,” kata Mary.

Ewart sebelumnya tinggal di Inggris. Setelah divonis menderita penyakit syaraf, dia pun memutuskan pindah ke Swiss dan mengakhiri hidupnya di sana. Ewart mengatakan dia ingin bertindak sebelum penyakit, yang menghancurkan sel-sel pengendali aktivitas otot-otot vital, seperti berbicara, berjalan, membuatnya benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa.

“Beberapa orang mungkin mengatakan ‘tidak, bunuh diri adalah salah. Tuhan melarangnya. Baiklah, tapi apakah kau tahu? Ventilator ini adalah Tuhan’,” kata Ewart.

Tindakan pendampingan bunuh diri sendiri masih menjadi perbuatan ilegal di Inggris, namun legal di Swiss, dengan syarat tidak untuk menarik keuntungan pribadi.

Setelah ditayangkan di televisi Inggris pada Rabu malam (10/12), tayangan bunuh diri oleh pria berusia 59 tahun di sebuah klinik di Swiss tersebut memicu timbulnya kontroversi, bahkan menjadi headline di sejumlah surat kabar. Sebagian besar mengecam tayangan tersebut. Menampilkan detik-detik akhir kematian dianggap sesuatu hal yang tabu, bahkan di Inggris, negara yang menjadikan tayangan seks dan kekerasan sebagai hal yang biasa.

Persoalan pilihan untuk mengakhiri hidup memang menjadi hal yang kontroversial, meskipun perdebatannya kini jadi lebih terbuka. Care Not Killing, sebuah kelompok anti-euthanasia, bersama dengan Gereja Katolik dan sejumlah organisasi keagamaaan dan penentang bunuh diri lainnya di Inggris menyatakan siaran tersebut hanyalah sebuah usaha untuk menaikkan rating stasiun televisi.

“Menurut saya, menjadikan kematian seseorang menjadi reality show adalah hal yang sangat murahan,” kata Direktur Utama kelompok Right to Life.

Namun, pihak penyiaran justru menyanggah pendapat itu. Seorang sutradara terkemuka pemenang Oscar, John Zaritsky, menyatakan bahwa membuat suatu film atau tayangan tanpa menunjukkan kejadian bunuh diri yang sesungguhnya hanya akan menghasilkan suatu yang tidak jujur. Penonton hanya akan membayangkan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak menyenangkan, ganas, bahkan bertentangan dengan keinginan Ewart.

Ludwig A Minelli, pendiri Dignitas, sebuah kelompok pendampingan bunuh diri terkemuka di Swiss mengatakan bahwa Ewart sendiri yang menginginkan hal itu, tanpa mendapat pengaruh dari pembuat film ataupun kehadiran kamera. Menurutnya, sejak awal, Ewart ingin mempersingkat penderitaannya.

Menurut sebuah polling, 80 persen rakyat Inggris menginginkan aturan mengenai bunuh diri ini harus diubah. Seorang dokter seharusnya diberikan izin untuk mengakhiri kehidupan pasien, dalam kasus-kasus serupa Ewart. Namun, tentu saja banyak pula yang menentang. Penolakan dari kelompok keagamaan yang berpengaruh tetap kuat dan undang-undang anti-bunuh diri tetap bertahan hingga kini.

Astri Ihsan/AP/CNN

*photo from www.mirror.co.uk

No comments:

Post a Comment