05 January 2009

Horizon Gelap di Rusia

Ketidakpastian merambat di Rusia. Untuk pertama kalinya sejak Vladimir Putin berkuasa, Moskow menghadapi prospek ketidakstabilan politik yang nyata. Salah satu politisi cerdas Rusia, Anatoly Chubais, mengatakan bahwa kemungkinan terjadi huru-hara serius, ekonomi, sosial, dan bahkan politik, mencapai 50 persen.

Selama bertahun-tahun, Putin dengan mantap mengeliminasi semua ancaman terhadap kekuasaannya dan pada akhir masa jabatan keduanya, dia menikmati otoritas absolut. Putin diberkati dengan naiknya harga minyak yang memungkinkannya membangun otoritarianisme minyak. Masyarakat menghargainya. Dengan lingkungan seperti ini, lawan-lawan politik mudah dimarginalkan. Namun, kini otoritas Rusia ditantang oleh kekuatan di luar kendali.

Krisis ekonomi melanda. Harga minyak kini hanya seperempat dari harga beberapa bulan lalu. Investor pergi. Pasar saham sepi. Setelah sembilan tahun mengalami surplus, Rusia mengalami defisit anggaran pada 2009. Tingkat pengangguran, yang dulunya sangat rendah, sekarang justru melambung. Pekerjaan baru hampir mustahil ditemukan.

Banyak yang percaya bahwa itu belum mencapai kondisi terburuk. Para ekonom memperkirakan Rusia akan terhantam lebih keras pada Februari dan Maret. Ditambah lagi dengan sejumlah protes sosial, yang menentang berbagai kebijakan pemerintah. Menurut hasil polling Levada Center, 40 persen masyarakat Rusia kini merasa tidak aman.

Meskipun begitu, tingkat kepopuleran Putin tetap tinggi, yakni 83 persen, hanya menurun tipis dari 88 persen pada September tahun lalu. Kepopuleran Putin memang merupakan fondasi kuat dalam rezim Rusia, di mana institusi-institusi pemerintah dikebiri dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan pemimpin utama. Keuntungan ini menempatkan Putin di atas semua elit politik. Tapi, jika krisis ekonomi mengikis dukungan yang luas ini, kesetiaan para elite juga mungkin akan terguncang.

Masalah ekonomi ini memang membawa dilema bagi para pemimpin Rusia. Putin percaya pemerintahan vertikal dibangun di atas ketertutupan, subordinasi, dan kendali. Hal ini membuat pemerintahan menjadi sangat tidak efisien. Namun, kini efisiensi tak bisa lagi dipertahankan. Logika pemerintahan Putin menginginkan adanya kontrol ketat, sementara logika krisis menginginkan fleksibilitas, umpan balik yang efektif dari elite lainnya, dan dialog. Jika Putin meneruskan kebijakannya, ini mungkin hanya akan membuka jalan terjadinya huru-hara baru.

Astri Ihsan/Washington Post

No comments:

Post a Comment