22 January 2009

Realita Kertas dan Dunia Label Harga

Selama ini saya selalu menjadi anak manis yang penurut. Mungkin sedikit keras kepala. Tapi, selama tempatku masih terasa nyaman dan tak ada keadaan yang membuatku merasa terpaksa untuk melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hatiku, maka saya akan memilih jalur aman, yaitu diam.

Hanya sesekali dalam kondisi-kondisi penuh tekanan dan keadaan itu tak berkenan di hatiku, maka dipastikan saya akan meledak. Bagai gunung api yang sudah lama tidur tapi terus memproduksi magma. Suatu saat akan meletus dan membuat orang-orang takjub. Dalam kondisi tertentu, luapan amarah itu pernah meledak. Aneh dan membuat saya akhirnya merasa kaget juga, ternyata saya menyimpan kekuatan emosi sedahsyat itu. Setelah puas mengeluarkannya, saya pun kembali menjadi sosok yang tenang, kalem, diam, seperti yang mereka kenal.

Saya ingat, pernah suatu kali emosi itu meledak, setelah serangkaian peristiwa pemicu yang berusaha saya abaikan tapi ternyata tak bisa dan justru menimbulkan bekas di hatiku. Saya berteriak lantang, atau mungkin bisa disebut mengamuk. Ingin rasanya kuenyahkan dia dari hadapanku. Kukeluarkan semua amarah dari titik-titik terdalam hatiku. Saya tak takut apapun. Seluruh tubuhku berkeringat. Tak kubiarkan siapapun menyentuhku. Otakku menolak semua perkataan, saran dan pembelaan diri. Saya bergetar tapi tak gentar. Cuma ada kebencian. Namun, perlahan adrenalinku mereda. Kemarahan itu mulai surut. Saya pun berusaha mengambil kembali kendali diriku. Setelah itu, beri saya ruang untuk berpikir, mungkin juga menangis untuk melegakan sesaknya hatiku. Setelah itu saya akan baik-baik saja. Benar-benar tenang dan tak tergoyahkan.

“Sayang, kamu kenapa? Kamu itu masih sangat muda. Perjalanan hidupmu masih panjang. Kamu masih akan menghadapi berbagai masalah hidup yang lebih sulit ke depannya.”

Saya selalu ingat kata-kata itu. Kata-kata dari salah seorang yang ikut membesarkanku tapi kini kami bagai dua kutub yang berbeda. Terpisah sangat jauh dan tak ingin kurekatkan lagi. Dia salah satu emosi terpendamku yang terdalam.

Ketika dia mengutarakan itu, saya tak menjawab apa-apa. Emosi membawaku berpikir “Hey, lo ga tau apa yang gw rasain saat ini. Lo ga alamin apa yang pernah gw alamin. Lo cuma pinter ngomong. Apa sih yang lo tau tentang hati gw, tentang perasaan gw? U have no idea, absolutely!!!”

Hahahaha, akhirnya kini saya menyadari betapa kekanak-kanakannya pemikiran itu. Merasa menjadi orang paling tersiksa dengan tanggungan penderitaan terberat di dunia. Saya harus membuka mata lebih lebar. Banyak persoalan lebih besar yang terjadi di dunia, membutuhkan perhatian dan solusi.

Hidup memang tak ramah. Siapa yang kuat, dia yang menindas. Siapa yang lemah, dia yang terinjak. Benar-benar sekejam itu. Harga diri pun kini banyak yang berlabel kertas, bukan polos melainkan terisi digit-digit rupiah atau dolar, dengan setumpuk kewajiban yang harus ditaati dan beberapa poin hak yang ternyata tak terjamin pelaksanaannya. Demi membawa pulang beberapa perak uang yang hanya cukup untuk makan ataupun demi terisinya rekening yang bisa membuat seseorang bertahan hidup selama sebulan dan jika mau lebih berhemat bisa membeli gadget ekonomis terbaru, beberapa orang akan rela mengabaikan prinsipnya, demi satu kata yang coba ditinggikan derajatnya, yaitu kompromi.

Saya tak tahu harus menyebut kondisi seperti itu dengan istilah apa. Saya tak rela menyebutnya kompromi. Mengutip seorang teman, kompromi digambarkannya sebagai keadaan di antara dua pihak, dimana pihak pertama pada akhirnya mengurangi keinginannya atau mungkin menurunkan beberapa tingkat standarnya, sementara pihak kedua menambah usaha untuk bisa menemui kemauan si pihak pertama. Saya setuju dengan hal itu. Intinya, ada goodwill dan peran aktif dari kedua pihak.

Tapi, realita kertas dan dunia label harga tidak seperti itu. Mereka tidak mengenal kata kompromi. Hanya ada komunikasi satu arah. “Kami perintahkan anda untuk memenuhi segala kewajiban sesuai yang tertera dalam kertas yang disebut kontrak. Jika anda melanggar, telah tersedia punishment (*namun jika anda taat, itu hal biasa, tak akan ada reward karena itu memang kewajiban anda). Sebagai imbalan atas jual jasa anda, kami akan membayar tepat sesuai digit yang tertera dalam kertas yang disebut dalam kontrak tersebut.”

Ini sebuah ironi. Kemampuan, keahlian, pemikiran, tenaga manusia bisa terbeli dengan sebuah label harga. Bila anda tamatan SMU, beruntung bila anda bisa mendapat upah hampir mencapai Rp1,5 juta. Bila anda lulusan S1, anda bisa memasang tarif mulai Rp2.000.000,00. Beruntunglah bagi orang yang sudah pernah memiliki pengalaman di beberapa tempat. Mereka bisa menaikkan digit di label harga mereka. Untuk bisa bertahan hidup, keadaan akan memaksa kita menerima “kompromi” semacam itu. Mari kita sebut penguasa atau penyewa jasa anda sebagai Perusahaan. Sengaja dengan awalan huruf besar, anggap saja itu sebagai nama.

Dengan penuh tekad dan loyalitas luar biasa, seseorang yang taat akan melaksanakan segala tugasnya sebaik mungkin. Pelayanan kualitet satu. Meminjam istilahnya Bryan Adam, “everything i do, i’ll do it for Perusahaan.” Tanpa banyak menuntut, seseorang yang taat rela datang paling pagi dan pulang sedikit lebih malam untuk menuntaskan semua pekerjaan. Siap mendapat tugas apa saja dan ditempatkan di mana saja. Jika belum begitu lelah, rela menambahkan beban kerja yang sebenarnya tak wajib dilakukan. Berbahagia bila bisa datang setiap hari untuk mencantumkan sidik jari di kotak kecil berwarna keabuan demi mendapatkan tambahan uang makan Rp15ribu. Menerima mentah-mentah klausa yang menyebutkan anda harus mematuhi segala kewajiban yang telah anda sepakati dan tandatangani di atas materai 6000, demi menerima kertas tipis berwarna sebagai imbalan pengganti jasa.

Begitulah kondisinya. Seseorang yang taat cuma mengajukan satu syarat, bayar imbalan tepat waktu di akhir bulan, telat sehari-dua hari masih bisa dimaklumi mengacu pada hari kerja perbankan. Tak pernah mempertanyakan kewajiban-kewajiban apa saja yang harus ditanggung oleh Perusahaan, termasuk apa punishment yang bisa dijatuhkan kepada Perusahaan bila ternyata melanggar kewajibannya. Semua diterima dengan lapang dada dan berbesar hati dengan justifikasi “toch, gw makan dari situ.”

Kelas pekerja memiliki posisi tawar yang lemah. Berbekal kertas yang disebut kontrak, pekerja diikat dalam masa kerja tertentu. Bila hasil kerjanya memuaskan, kontraknya bisa diperpanjang atau jika beruntung bisa langsung diangkat sebagai karyawan tetap. Namun, jika hasil kerjanya tidak memuaskan hati Perusahaan, bisa segera didepak seusai kontrak berakhir. Tak perlu ada pertanggungan, namanya juga pekerja kontrak.

Sekali lagi ini sebuah ironi. Label harga membawa anda menuju dua posisi. Di sisi pertama, label harga akan menentukan prestise anda. Semakin kecil label harga anda, maka akan semakin rendah lah anda di mata masyarakat. Semakin banyak digit di label harga anda, maka akan semakin “berkelas” lah anda. Semakin banyak orang yang akan datang berbaik hati pada anda, melontarkan pujian dan kata-kata manis, serta mengangkat kedudukan anda di mata masyarakat. Hampir semua orang kini mabuk dalam pencarian prestise ini.

Di sisi kedua, label harga akan membawa anda menuju nilai seorang manusia. Ketika label harga masih menjadi esensi penting dalam kehidupan, maka hidup akan terus disertai tawar-menawar. Yang artinya nilai “humanity” akan terukur dari berapa angka di label harga anda. “Keterukuran” itulah yang menjadi nilai anda. Jumlah materi akan selalu mengiringi hidup anda. Hidup tak lagi dimaknai sebagai pembelajaran, mengenal diri sendiri untuk pada akhirnya mengenal Tuhan lebih dekat.

Manusia tak lagi menganggap dirinya sebagai seorang khalifah, melainkan sosok pengejar keduniawiaan. Saya adalah apa yang anda inginkan dan sebesar apa yang anda bisa berikan. Ke”saya”an saya lah sebagai nilai dan kedudukan tertinggi. Kemunafikan dan wajah-wajah palsu bermunculan. Bibir manis siap membuai. Tak penting lagi arti sebuah kejujuran. Kertas di”Tuhan”kan dan laba menjadi malaikat. Inilah titik terendah seorang manusia.

Astri Istiana Ihsan

No comments:

Post a Comment