24 August 2008

Demi Integritas Bangsa dan Kesejahteraan Penduduk Lokal

Ada beberapa pulau terluar Indonesia yang rawan sengketa, di antaranya yang berada di sekitar Nanggroe Aceh Darussalam, Kepulauan Riau, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

Di NAD, ada beberapa pulau yang berpotensi menimbulkan sengketa karena berbatasan dengan perairan India dan Thailand. Di antaranya, Pulau Rondo, Benggala, Rusa, Raya, Salaut Besar, Simeulucut. Pertemuan tiga garis batas antara Indonesia, India, dan Thailand di perairan Andaman ini rawan konflik karena adanya ancaman separatisme, illegal fishing, dan klaim perairan antara tiga negara mengenai potensi kelautan.

Wilayah Provinsi Kepulauan Riau tercatat memiliki 19 pulau terluar. Tujuh di perairan Selat Philips dan Selat Singapura, dan 12 pulau di perairan Natuna. Tiga pulau yang cukup besar dan paling rawan konflik di antaranya adalah Pulau Nipa, Sekatung, dan Anambas. Salah satu pulau yang perlu diberikan perhatian ekstra adalah Pulau Nipa. Pulau ini awalnya merupakan pulau yang indah dan menjadi surga ikan kerapu yang mahal harganya. Ratusan kapal-kapal besar berlalu lalang setiap harinya di Pulau Nipa. Sayangnya, pulau ini sangat rawan abrasi. Namun, yang paling memprihatinkan sejak beberapa tahun silam pulau ini tercemar karena dijadikan tempat pembuangan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya oleh Singapura).

Pulau Nipa juga dimanfaatkan oleh Singapura untuk mereklamasi wilayahnya dengan mencuri pasirnya. Masalah penambangan pasir ini telah berlangsung sejak 1970-an. Jutaan ton pasir dikeruk selama bertahun-tahun dan semakin mengikis Pulau Nipa ini sendiri. Karena pasirnya terus-menerus tergerus sehingga rawan abrasi dan terjadi kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah, pulau ini sewaktu-waktu terancam tenggelam.

Kerugian besar akan terjadi di pihak Indonesia. Pertama, rusaknya ekosistem menyebabkan terganggunya mata pencaharian penduduk, khususnya nelayan. Kedua, penambangan pasir yang berpotensi meneggelamkan Nipa dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, justru akan memajukan garis batas wilayah Singapura. Perairan indonesia lama-kelamaan akan tercaplok, sementara wilayah Singapura, semakin lama akan semakin luas.

Seperempat abad yang lalu, data menunjukkan bahwa luas Singapura hanyalah 527 kilometer persegi. Pada 1998, luasnya sudah bertambah menjadi 674 kilometer persegi. Dan yang lebih mengejutkan, 2010 mendatang Singapura menargetkan luas wilayahnya mencapai 834 kilometer persegi. Seharusnya itu menjadi catatan penting bagi Indonesia.

Selain itu, ada pula Pula Anambas. Di perairan sekitarnya, pernah terekam adanya latihan militer gabungan yang diprakarsai oleh Singapura dan Malaysia pada 19-20 Mei 2007. Ironisnya, ini terjadi tepat di titik-titik koordinat wilayah kedaulatan RI.

Tak hanya itu, tercatat pula belasan pulau lain di kepulauan Riau yang rawan konflik, tak hanya dengan Singapura, tetapi juga dengan Malaysia dan Vietnam. Di antaranya, adalah Pulau Sentut, Pulau Tokong Malang Biru, Pulau Damar, Pulau Mangkai, Pulau Tokong Nanas, Pulau Tokong Belayar, Pulau Tokong Boro, Semiun, Sebetul, Senua, Subi Kecil, Kepala, Batu Mandi, Iyu Kecil, Karimun Kecil, Pelompong, Batu Berhanti, dan Nongsa.

Pendapatan peduduk di sebagian besar pulau-pulau ini bergantung pada penambangan pasir. Sayangnya, mereka tak menyadari bahwa tindakan tersebut selain berbahaya bagi keberadaan tempat tinggal mereka sendiri, juga hanya akan menguntungkan negara-negara yang perairannya berbatasan langsung dengan pulau tersebut.

Pulau terluar di sekitar Sumatera Utara pun tak kalah rawannya. Tercatat perairan di sekitar Pulau Berhala, Simuk, dan Wunga menjadi tempat mencari nafkah bagi para nelayan tradisional. Belum jelasnya penarikan batas antara Indonesia dan Malaysia di sekitar wilayah ini membuat para petani tradisional ini sering menjadi korban penangkapan bahkan penyiksaan oleh tentara laut Malaysia.

Di sekitar provinsi Papua juga terdapat beberapa pulau terluar yangg menyimpan potensi konflik perbatasan dengan negara lain, di antaranya, Pulau Fani, Fanildo, Brass, Budd, Missou, Bepondi, Liki, Kolepon, Laag, Ararkula, dan Kareira. Pulau-pulau tersebut memiliki potensi wisata bahari yang besar dengan keanekaragaman hayati laut dan terumbu karangnya yang indah.

Selain memiliki taman-taman laut dengan panorama yang alami dan ragam ikan hias, perairan di sekitar pulau-pulau ini juga merupakan pertemuan arus laut yang menjadi tempat bermukimnya limpahan ikan-ikan laut besar. Tak heran bila perairan di wilayah ini mencari incaran nelayan-nelayan dari Thailand, Papua Nugini, Australia, bahkan Taiwan, dan Korea. Potensi konflik yang paling mungkin terjadi adalah illegal fishing dan klaim kepemilikan oleh negara-negara lain yang tergiur dengan kekayaan laut yang melimpah di wilayah ini.

Sementara itu, di Sulawesi Utara ada beberapa pulau yang tak jelas statusnya. Catatlah, Pulau Miangas dan Marore, yang berbatasan langsung dengan Filipina. Sengketa Pulau Miangas, yang merupakan wilayah paling utara di Indonesia, bukanlah hal yang baru. Filipina mengklaim bahwa Miangas adalah bagian dari wilayahnya, sementara menurut keputusan Mahkaman Arbitrase Internasional pada 1928, Miangas merupakan milik sah Hindia-Belanda.

Sayangnya, dalam kenyataan pulau ini memang didominasi secara sosial, ekonomi dan budaya oleh Filipina. Barang-barang kebutuhan pokok kebanyakan dipasok dari Filipina, bahasanya pun serupa dengan suku Minandao, ditambah lagi kedekatan jarak wilayah membuat perkawinan dengan warga Filipina menjadi tak terhindarkan. Bahkan, dalam beberapa laporan disebutkan bahwa mata uang yang digunakan di pulau ini adalah Peso.

Hingga kini belum ada kesepakatan mengenai hal ini antara Indonesia dan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas, yang dilakukan forum RI-Filipina, yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC).

Mengingat banyaknya pulau-pulua terluar di Indonesia, yang masih rawan sengketa dengan persoalan perbatasan wilayah dengan negara-negara tetangga yang belum sepenuhnya terselesaikan, maka sudah sepatutnya seluruh elemen masyarakat dan pemerintah, seperti Departemen Luar Negeri, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pertahanan, serta TNI untuk memberikan perhatian lebih pada masalah ini.

Perlu disadari bahwa pengelolaan pulau dan karang terluar Indonesia memiliki arti yang sangat strategis. Bukan hanya untuk menunjukkan integritas kita sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia di mata dunia, namun nilai ekonomi, sosial, pariwisata dan budaya yang terkait dengan pulau-pulau tersebut sangat layak untuk dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.


Astri Istiana Ihsan
Published @ Jurnal Nasional, 22 Agustus 2008

1 comment:

  1. Saya rasa Pulau terluar sangat perlu diperhatikan masalah listrik dan telekomunikasi, info sekatung di www.sekatung.co.cc

    ReplyDelete