12 December 2008

Mengintip Kemegahan Klenteng Sam Poo Kong

Mengintip dari pintu gerbang besi berwarna kuning, berhiaskan ukiran naga di atasnya, klenteng itu terlihat ramai. Padahal hari sudah beranjak petang dan gerimis pun mulai turun di ibukota Jawa Tengah ini. Ada yang asyik memandangi bangunan-bangunan di sekitar klenteng, ada pula yang membawa-bawa dupa merah untuk dipakai berdoa nantinya.

Tempat itu adalah Klenteng Sam Poo Kong atau bisa juga disebut Klenteng Gedong Batu. Hanya tersedia waktu 15 menit untuk masuk dan mengelilingi Sam Poo Kong. Saya pun bergegas, tak ingin melewatkan kesempatan memenuhi rasa penasaran saya mengenai klenteng yang kabarnya pernah disinggahi Laksamana Cheng Ho ini.

Terus terang ini pengalaman pertama saya bersentuhan langsung dengan klenteng. Namun, persis seperti yang saya bayangkan, klenteng ini tak jauh dari nuansa warna merah, kuning, hijau, dan emas khas China. Terdapat beberapa bangunan di dalam kompleks ini, tiga bangunan kuil megah, satu pendopo yang menjual dupa dan souvenir khas Sam Poo Kong, serta satu pendopo lagi bagi yang ingin berfoto dengan mengenakan kostum China. Ada pula satu bangunan kuil yang belum jadi dan juga beberapa hiasan patung.

Uniknya, di dalam salah satu kuil terdapat sebuah bedug besar dan di luar kuil tersebut terdapat beberapa lilin besar yang terus menyala selama setengah tahun, adapula yang setahun. Bedug sengaja ditempatkan disana untuk menghormati Cheng Ho yang berlatar belakang Islam.

Di waktu malam, klenteng ini terlihat eksotis (meski keesokan paginya saya harus kembali lagi kesana untuk mengambil gambar. Kala malam dengan cahaya remang-remang, tak bisa mengambil foto yang bagus di tempat ini). Taburan lampu dalam lampion yang menggantung semakin mempercantik Sam Poo Kong. Di lampion-lampion tersebut, tergantung kertas bertuliskan nama dan kota tempat tinggal.

Menurut keterangan pemandu wisata saya, Mulyono, setiap orang yang menyumbang dalam jumlah tertentu berhak menuliskan nama dan tempat tinggalnya di kertas, yang kemudian digantungkan di lampion dalam kuil. Hmmm, langsung terpikir dalam benak saya, berapa banyak penyumbang dan jumlah yang disumbang untuk membangun kuil semegah dan seindah ini?

Klenteng ini memang istimewa. Meski menjadi tempat peribadatan umat Tri Dharma, namun pemeluk agama lain pun kerap berkunjung. Seperti saya, yang mengenakan jilbab, tetap saja penasaran ingin menelusuri kemahsyuran obyek wisata terkemuka kota Semarang ini.

Keberadaan Klenteng Sam Poo Kong ini sangat lekat dengan sosok pelaut besar nan arif dan cerdik asal China zaman kaisar ketiga Dinasti Ming, Laksamana Cheng Ho. Konon kabarnya, pada 11 Juli 1405, Cheng Ho diperintahkan berlayar mengarungi lautan dunia dan mengunjungi negara-negara lain untuk menjalankan misi dagang dan politik dengan 200 armada laut. Nah, ketika itulah dia dikabarkan sempat mengunjungi nusantara dan singgah di beberapa tempat.

Saat berlayar dekat Semarang, seorang anak buah kapalnya sakit keras. Dia pun memerintahkan kapal merapat dan mencari pengobatan bagi anak buahnya. Cheng Ho kemudian beristirahat dalam sebuah goa yang kini menjadi bangunan inti dari Klenteng Sam Poo Kong. Sejak itu petilasan Cheng Ho selalu dirawat sebagai penghormatan atas jasa dan kebesarannya. Perisiwa pendaratan Laksamana Cheng Ho ini pun tiap tahun diperingati di Klenteng Sam Poo Kong, dengan menggelar ritual mengarak patung Sam Poo Kong dari Klenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok ke Klenteng Sam Poo Kong di Gedong Batu.

Selain tertarik pada legenda Laksamana Cheng Ho, banyak pula yang mengunjungi Sam Poo Kong untuk diramal oleh biokong atau juru kunci kuil yang ada disana. Menurut beberapa teman yang sudah duluan berkunjung kesana, ramalan biokong jitu.

Ada beberapa aturan yang harus ditaati sebelum diramal dan memasuki kuil. Pertama, alas kaki harus dilepas. Kedua, bagi perempuan yang sedang berhalangan dilarang masuk. Ketiga, harus membawa dupa untuk berdoa. Terakhir, memberikan upeti seikhlasnya kepada biokong. Sebelum diramal, pengunjung boleh bersembahyang sendiri atau minta disembahyangkan oleh sang biokong. Jangan lupa menuliskan nama, alamat dan hal yang ingin ditanyakan di sebuah kertas.

Iseng-iseng, saya pun mencoba, sekedar penasaran dan tak bermaksud meyakini ramalan itu. Saya menyerahkan kertas kepada biokong berambut putih tersebut. Dia pun menyalakan dupa dan bersembahyang. Setelah itu masuk ke sebuah ruangan khusus, melakukan ritual, membunyikan lonceng dan meminta petunjuk nomor ciamsi dari sang Dewa. Setelah merasa mendapat wahyu nomor ciamsi, dia pun akan mengambil hasilnya di sebuah lemari dengan laci-laci kecil. Disana terdapat kertas-kertas berisi jawaban atas pertanyaan.

Sulit juga memahami maksud hasil ciamsi tersebut. Saya mendapat ciamsi 10. Isinya adalah perempuan hamil akan mendapatkan anak perempuan, perjodohan baik, keuangan tidak ada, perjalanan belum sampai. Saya pun mengerutkan dahi, ini tak menjawab apa yang saya tanyakan. Saya pun bertanya kepada biokong mengenai maksud ramalan itu. Namun, jawaban tegas yang saya peroleh.

“Jika ingin meminta ramalan, datang ke sini harus dengan niat, tahu pasti apa yang ingin ditanyakan, kemudian khusyuk bersembahyang” ujarnya berlalu sambil tetap mengunyah sirih.


Astri Istiana Ihsan










No comments:

Post a Comment