14 January 2009

Catatan Harian Seorang Warga Gaza



Tak ada seorang manusia pun yang menginginkan hidup dalam peperangan. Situasi perang mengharuskan siapa pun pasrah melihat kematian keluarga dan kerabatnya, kehilangan harta benda, dan kehancuran kotanya tercinta.

Ini pulalah yang terjadi di Gaza saat ini. Lebih 900 nyawa melayang dan sekurang-kurangnya 4.000 warga Gaza lainnya mengalami luka-luka akibat serangan brutal Israel sejak 27 Desember lalu. Tak ternilai lagi berapa kerugian materi dan imaterial yang diderita. Setiap orang di Gaza pun tak berani lagi bermimpi untuk bisa hidup keesokan hari. Bisa bertahan hidup hari ini sudah merupakan sebuah keberuntungan.

Sejalan dengan meningkatnya jumlah korban yang dijatuhkan oleh pasukan Israel dengan segenap peralatan perang canggihnya, Mohammad Ali, seorang advokat dan peneliti untuk Oxfam yang berdomisili di Gaza, menuangkan perasaan dan pengalamannya hidup dalam bombardir Israel. Inilah catatan hariannya:

Hari ini saya bertemu dengan seseorang di luar rumah sakit Shifa di Kota Gaza. Saya tidak dapat percaya dengan kisah yang baru saja saya dengar. Seorang pria tua mengatakan padaku dia akan buta. Penyakit diabetesnya memburuk dan dia membutuhkan perawatan segera agar tidak kehilangan penglihatan. Tapi, dia akhirnya memutuskan menjauh. Dia merasa kondisinya tidak cukup parah dibandingkan orang-orang yang menjejali koridor rumah sakit dan tidak ada cukup dokter untuk melihatnya.

Tim medis tidak bisa menangani kondisi ini. Dokter bekerja selama 24 jam, meski tahu tak akan menerima gaji. Tempat tidur, peralatan, dan obat-obatan tidak cukup untuk mengatasi krisis kemanusiaan ini. Saya mendengar dan terus mendengar kisah orang-orang yang terjebak di bawah reruntuhan. Ambulans tidak bisa menjangkau mereka. Jadi, mereka cuma bisa menunggu untuk mati.

Ketika saya keluar, seorang pria mendekatiku dan bertanya maukah saya membantu membersihkan mayat-mayat. Yang lainnya bertanya apakah saya bekerja untuk organisasi kemanusiaan, tapi saya belum menjawab, pria itu menengadah ke langit dan berteriak, “Di manakah kemanusiaan?”

Situasinya kini telah mencapai titik kritis. Bukan hal aneh lagi bila dokter dilanda dilema antara apakah harus merawat anak yang mengalami pendarahan dan menuju kematiannya ataukah merawat bayi yang mengalami luka di kepalanya.

Setiap jam, setiap gambar dari seluruh dunia yang tampil di layar televisi kami ketika listrik sempat menyala, saya melihat gambar dari orang-orang yang bersenang-senang. Dan saya bertanya pada diriku, apa perbedaan antara mereka dan saya? Mengapa kehidupan kami berbeda padahal kita tinggal di planet yang sama? Saya takjub, apakah orang-orang ini juga menanyakan hal yang sama pada diri mereka ketika mereka menyaksikan horor di Gaza?

Jika saya harus merasakan hingga akhir konflik ini, saya ingin menikmati setiap menit yang saya miliki. Saya tidak ingin anak-anak tumbuh dalam lingkungan ini, tercekik oleh penguasaan, tidak asing lagi dengan suara jet tempur F-16, tak bisa meninggalkan negeri ini jika mereka membutuhkan perawatan untuk menyelamatkan hidup mereka.

Ini bukan bencana alam seperti tsunami. Ini adalah bencana buatan manusia yang semakin mendalam, sementara dunia hanya menyaksikan. Sejalan dengan jumlah korban yang terus meningkat, saya dan istri menghabiskan jam-jam bangun kami untuk menunggu giliran.

Sekarang, malam sebelum tidur, saya mengatakan kepadanya, “Selamat malam cintaku, sampai bertemu di surga.”

Semoga catatan harian seorang warga Gaza ini bisa menjadi refleksi betapa buruknya situasi di Gaza sekarang dan betapa mendesaknya keadaan ini segera ditindaklanjuti oleh komunitas dunia, sebelum korban-korban tidak bersalah terus berjatuhan dan Gaza terancam kehilangan generasinya.

Astri Ihsan/Al Jazeera

1 comment:

  1. Tulisannya cukup menyentuh.. Kapan perang ini akan berakhir???

    ReplyDelete