08 December 2009

Kopenhagen dan Konferensi Dua Pekan yang Menentukan

LAMA terdengar gaungnya, konferensi perubahan iklim akhirnya mulai digelar di Kopenhagen, Denmark awal pekan ini. Konferensi ini merupakan salah satu pertemuan dunia paling bersejarah abad ini mengingat lebih dari 190 negara dengan 15 ribu partisipan hadir.

Mereka berkumpul untuk membahas masalah yang paling mengancam bumi saat ini, yakni perubahan iklim, segala implikasinya terhadap kehidupan makhluk dunia, dan langkah-langkah yang perlu diambil untuk mengatasinya. Konferensi ini untuk membahas pengganti dari Protokol Kyoto 1997, yang akan habis masa berlakunya 2012 mendatang.

Perdana Menteri Denmark Lars Lokke Rasmussen mengumumkan bahwa ada 110 kepala negara dan pemerintahan yang akan menghadiri konferensi dua pekan ini. Konferensi ini merupakan pertemuan ke 15 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan merupakan puncak dari proses pergerakan yang digelar di Bali dua tahun lalu.

Salah satu pembahasan utama dalam konferensi adalah pemangkasan emisi global. Dr. Rajendra Pachauri, ketua Panel Antar-pemerintah Mengenai Perubahan Iklim PBB, seperti dikutip dalam press release UNFCCC, mengatakan bahwa emisi global harus mencapai puncaknya pada 2015.

Setelah itu, emisi global harus dipangkas 25 persen hingga 40 persen pada 2020 dan setidaknya 50 persen pada 2050, khususnya di negara-negara industrial. Konsekuensi dari perubahan iklim adalah terjadinya pemanasan global, kenaikan level air laut, kekeringan, longsor, meningkatnya frekuensi kedatangan badai tropis, dan kepunahan berbagai spesies.

Namun, perlu diingat pula, meski skema ini telah dijalankan, kesempatan untuk terhindar dari konsekuensi bencana yang akan terjadi di bumi akibat perubahan iklim hanya 50 persen saja. Kenaikan temperatur bumi sudah tak terhindarkan lagi. Associated Press melansir Organisasi Meteorologis Dunia bahwa bahwa 2009 menjadi tahun terhangat selama ini.Yang bisa dilakukan saat ini adalah mencegah agar kenaikan temperatur tetap di bawah dua derajat Celsius.

“Kita telah mencapai tenggat dan tidak ada lagi jalan kembali,” katanya.

Menurut negosiator perubahan iklim PBB, Yvo de Boer, harus ada implementasi yang cepat dan efektif untuk memangkas dan membatasi emisi. Konferensi ini juga diharapkan bisa menghasilkan kesepakatan mengenai pembagian beban antara negara-negara kaya dan berkembang dalam memerangi perubahan iklim.

Dilansir Al Jazeera, gaung perubahan iklim mulai terdengar ketika dua tahun lalu 152 ilmuwan dari 30 negara mengungkap bukti bahwa temperatur global meningkat. Mereka mengatakan bahwa jika emisi karbondioksida tak bisa dikontrol, maka pemanasan global akan berlanjut.

Masing-masing negara membawa kepentingannya sendiri. Negara-negara kaya dengan keuntungan industrialnya, negara-negara pulau membawa kekhwatiran mengenai ancaman terhadap keberadaan mereka akibat peningkatan air laut. Delegasi dari Afrika berbicara mengenai kekeringan dan kekurangan pangan, sementara sisanya berbicara mengenai efek industri, lapangan kerja dan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Perubahan iklim tidak sekedar mengenai alasan ilmiah, namun juga penyediaan dana dalam jumlah besar. Selain dituntut untuk memangkas emisinya, negara-negara kaya juga diminta memberikan dana dalam jumlah tertentu untuk membantu negara miskin memerangi perubahan iklim, termasuk menyediakan teknologi yang lebih bersih.

Bagi negara-negara kaya di Eropa dan AS, pertimbangannya kini adalah tentang biaya ekonomi dan politis dari pemangkasan emisi. AS, sebagai negara penghasil polusi terbesar dunia, mengatakan akan berkontribusi “secara adil” kepada negara-negara yang lebih miskin, dan enggan untuk menyebutkan berapa jumlah yang mereka mau bayarkan. Sementara, kebanyakan negara-negara berkembang hanya mau “bergerak” bila mereka menerima insentif finansial yang besar.

Akankah ada titik temu dari seluruh permasalahan ini? Pembahasan dalam dua minggu ke depan di Kopenhagen akan menjadi penentunya. Semua tentu berharap masih akan ada harapan di masa depan bagi bumi dan keberlangsungan makhluk hidup yang mendiaminya.

Astri Istiana Ihsan/Reuters/AP/Al Jazeera

Diterbitkan di Jurnal Nasional

No comments:

Post a Comment