07 November 2013

How Gadget Drives Me Insane

Saya mencoba mengingat bagaimana kehidupan saya dulu sebelum menggunakan handphone, mengenal instant messaging, dan memiliki akun media sosial.

Sebelum populernya ponsel, sepertinya semua orang memiliki semacam buku kecil untuk mencatat nomor-nomor telepon dan alamat rumah keluarga ataupun teman. Namun, tanpa buku itu pun, kita tetap bisa mengingat nomor telepon rumah keluarga dan teman-teman dekat. Saya rasa saat itu semua orang saling tahu di mana alamat rumah keluarga atau teman dekatnya.

Lalu kemudian beredarlah ponsel. Awalnya hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Ponsel saat itu masih yang berukuran besar (saya menyebutnya hp batu bata) dan memiliki antena panjang. Harga SIM Card saat itu masih mahal dibandingkan sekarang. Orang-orang harus merogoh kocek ratusan ribu untuk memiliki sebuah nomor hp.

Hp pun semakin canggih. Dulu, layar hp hanya satu warna, sekarang sudah jamannya LED, high definition, touch screen, dengan kamera yang mumpuni, bahkan sudah setara dengan kamera DSLR. Berbagai macam fasilitas bisa dimiliki oleh benda yang bisa diselipkan di kantong celana ini. Muncul pula sistem Android, lalu ada tablet. Hah! Teknologi bergerak semakin cepat dan kita harus berlari sangat kencang bila ingin mengejarnya.

Hal yang paling nyata yang saya rasakan dengan adanya hp adalah saya mulai kesulitan menghafal angka. Kemampuan otak saya untuk mengingat dan menghafal tergantikan dengan adanya contact phone book di hp. Saat ini mungkin hanya empat hingga lima orang yang masih saya ingat nomor teleponnya.

Dulu, sebelum memiliki hp, semua orang bisa-bisa saja janjian lalu bertemu di sebuah tempat. Sekarang, bila ingin janjian saja, sepertinya harus dirancang sedemikian rupa. Mau bertemu saja, dibahas berkali-kali melalui sms, bbm, whatsapp, line, you named it.

Mau membatalkan janji, tinggal kirim pesan saja, tak usah bertemu muka. Dulu, saat lebaran, kita saling berkirim kartu lebaran. Sekarang, kartu lebaran tergantikan dengan instant messaging. Semua orang bisa terkoneksi dengan mudah.

Kemudian, muncul pula media sosial. Awalnya Friendster, lalu muncul Facebook, Twitter, Path, Instagram dan silahkan sebut saja yang lain. Hampir tidak ada lagi privasi. Semua orang berlomba-lomba memamerkan kehidupannya.

Ingin “pedekate”, tinggal cari di Fb dan Twitter. Pergi ke suatu tempat, check in dulu di foursquare, lagi makan enak di restoran, foto dulu makanannya dan unggah ke media sosial. Menikah? Undang saja melalui FB. Punya pacar baru atau baru saja putus, tunangan maupun menikah, jangan lupa update status dulu. Baru melahirkan? Jangan lupa, laporkan setiap perkembangan bayi di media sosialmu. Anak sedang sakit? Tanya saja dokter di Twitter.

Hidup sepertinya jadi lebih mudah bukan? Yes! But this is my two cents. Seriously, I’m done with all of these things. I am the victim of social media, my husband too and my child of course.

Persoalan status di FB ataupun di BBM yang kerap menimbulkan perasaan tak nyaman. Tiba-tiba semua orang merasa berhak atau mungkin saja merasa wajib berbagi perasaannya, meluapkan emosinya, menyindir atau mengejek orang lain di ruang publik. Ada pula yang mengumbar persoalan rumah tangganya ataupun memamerkan barang-barang mewahnya. Belum lagi soal follow atau unfollow di Twitter yang banyak menimbulkan ketersinggungan.

Tanpa saya sadari, saya terlalu banyak berbagi hal yang mungkin tidak sepatutnya saya umumkan ke dunia, bahkan yang mungkin orang lain tidak ingin tahu. Saya telah melanggar hak privasi diri sendiri. Diakui atau tidak, tanpa hp, saya seperti “lumpuh.” Disadari ataupun tidak, teknologi memang mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat.

I keep sharing, updating, uploading everything, tapi sebenarnya siapa sih yang peduli? Setiap orang sibuk dengan kehidupannya sendiri. Sementara, saat saya bangun pagi, Blackberry menjadi hal pertama yang saya cari. I should stop. I need to stop.

Saya tidak mengatakan bahwa media sosial hanya membawa pengaruh buruk. Sama sekali tidak. Pekerjaan saya pun mengharuskan saya untuk selalu in contact dengan media sosial. Tinggal jauh dari orang tua juga membuat saya harus sesekali harus mengunggah foto demi memuaskan rasa rindu mereka terhadap anak dan cucunya. Tapi, saya tidak ingin berlebihan lagi.

Sepertinya sudah cukup waktu yang saya “curi” dari diri saya sendiri, anak dan suami saya hanya untuk membuka halaman Facebook orang lain, memantau lini masa atau melihat recent updates. Dan saya pun memutuskan untuk tidak lagi “menyuapi” orang lain dengan kehidupan pribadi saya.

Semua harus kembali pada porsi yang sewajarnya. Saya harus kembali memberi ruang dan rasa hormat untuk privasi. Banyak hal positif yang saya yakin bisa saya dapatkan dengan memangkas waktu saya saat bergelut dengan gadget dan media sosial. Saya bisa menjalin hubungan yang lebih berkualitas dengan keluarga dan teman-teman dekat, kembali produktif untuk menulis, meluangkan waktu melakukan hobi saya untuk baking, membaca buku, membuka-buka majalah interior, apapun itu.

Bukan teknologi yang menguasai manusia, tapi justru manusia lah yang seharusnya menaklukkan teknologi. Jangan sampai teknologi justru membuat kita mengabaikan hal-hal yang ada di sekitar. Manfaatkan kebaikannya dan buang hal-hal negatif yang bisa ditimbulkan. Yah, mungkin ada yang setuju ataupun tidak. Tapi, hidup ini kan pilihan. Terserah kita mau memilih jalan yang mana.

No comments:

Post a Comment