24 September 2008

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik Peringkat

Ada kabar gembira bagi Indonesia, khususnya dunia pemberantasan korupsi. Transparency International (TI), Selasa (23/9), mengeluarkan data Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Index Perception/CPI ) 2008. Kabar baiknya adalah peringkat CPI Indonesia naik signifikan dibanding tahun lalu.

TI, yang mulai menerbitkan CPI ini sejak 1995 silam, menempatkan Indonesia di peringkat 126 dari 180 negara pada tahun ini. Peringkat ini bisa dikatakan naik cukup drastis karena pada 2007 lalu Indonesia hanya menempati posisi 143 dalam hal pemberantasan korupsi.

Sayangnya, kita masih patut malu bila membandingkan diri dengan negara-negara tetangga. Sebut saja Singapura, yang selalu menempati lima besar peringkat teratas pemberantasan korupsi. Malaysia, masih menduduki peringkat yang jauh lebih baik, yakni di peringkat 47, meskipun turun empat peringkat dibanding tahun lalu. Begitu pula dengan Thailand. Di tengah carut-marut politik, peringkat CPI-nya masih beranjak naik empat peringkat, dari urutan 84 pada 2007 lalu menjadi peringkat 80.

Sementara itu, Filipina yang pada tahun lalu menempati posisi 131, belasan peringkat di atas Indonesia, tahun ini harus puas hanya berada di urutan 141, berada cukup jauh di bawah Indonesia. Sedangkan, Myanmar yang tahun lalu menempati peringkat terakhir, tahun ini menduduki peringkat 178.

Sepuluh besar CPI sendiri tak banyak berubah. Posisi terhormat tersebut ditempati secara berurutan oleh Denmark, Selandia Baru, Swedia, Singapura, Finlandia, Swiss, Iceland, Belanda, Australia dan Kanada.

Sementara, Amerika Serikat tahun ini menempati posisi 18, naik dua peringkat dibanding tahun lalu.

CPI ini berusaha mengaitkan antara kemiskinan, kegagalan institusi dan korupsi.

“Membendung korupsi memerlukan pengawasan yang kuat di parlemen, penegak hukum, media independen dan masyarakat sipil. Ketika institusi-institusi ini lemah, korupsi menjadi keluar kendali dengan konsekuensi yang menghebohkan bagi rakyat biasa, dan secara luas untuk keadilan dan persamaan dalam masyarakat,” ungkap TI dalam website-nya (www.transparency.org).

Menurut TI dalam press release-nya, ada tantangan pemberantasan korupsi berbeda di negara berpendapatan rendah dengan negara berpendapatan tinggi. Menurutnya, korupsi di negara miskin biasanya terjadi di lembaga yuridis ataupun parlemen yang tak efektif.

Sementara, di negara makmur, korupsi cenderung merupakan hasil dari kurangnya regulasi di sektor privat, serta lemahnya pengawasan di institusi keuangan dan transaksi.

Data CPI 2008 dikumpulkan dari survey yang dilakukan pada 2007 dan 2008, yang bersumber dari para pelaku bisnis dan penilaian para analis dari 11 institusi bebas.

Semua responden mengukur keseluruhan korupsi (frekuensi atau jumlah penyuapan) di sektor publik dan politik. Mereka kemudian memberikan peringkat bagi setiap negara, termasuk penilaian bagi negara-negara yang berbeda.

Semua sumber memiliki definisi korupsi yang homogen, yakni korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.

Bagaimanapun, kenaikan peringkat CPI Indonesia patut disambut positif. Setidaknya, ini membuktikan bahwa kepercayaan terhadap institusi pemerintahan dan sektor-sektor publik di Indonesia mulai meningkat.

Mudah-mudahan saja, ini juga akan diikuti dengan semakin tegasnya penegakan hukum, gencarnya pemberantasan korupsi yang menjerakan, serta pembenahan institusi-institusi pelayanan publik yang memang terkenal korup.


Astri Istiana Ihsan

No comments:

Post a Comment