24 September 2008

Sulap Harga di Zimbabwe Karena Inflasi Tinggi

Harare | Selasa, 23 September 2008
Astri Istiana Ihsan - Reporter Junior - Selasa, 23 September 2008 13:39:24 WIB
Keyword : Zimbabwe, krisis ekonomi, sistem harga berbeda

Ekonomi Zimbabwe terus memburuk hampir satu dekade ini. Tingkat pengangguran melonjak tajam, terjadi kekurangan pangan dan setidaknya 80 persen populasi hidup di bawah garis kemiskinan.

Belum lagi terjadi inflasi tertinggi di dunia, yang saat ini secara resmi diumumkan mencapai 11,2 juta persen. Imbasnya harga-harga kebutuhan pun meroket dengan sangat cepat, bahkan lebih dari sekali dalam sehari. Sekarang kegiatan berbelanja pun membutuhkan keahlian matematis yang akurat bagi rakyat Zimbabwe.

Untuk menjamin keberlangsungan mereka di tengah-tengah lingkungan ekonomi tak menentu, toko-toko dan penyedia jasa pun memutar otak dengan “menyulap” harga. Mereka menetapkan tiga harga yang berbeda untuk barang yang sama bagi para pembeli yang membayar tunai dengan mata uang lokal, mata uang asing ataupun menggunakan kartu kredit.

Semisalnya saja, dua potong ayam di sebuah restoran cepat saji di ibukota Harare membebankan 4.000 dolar Zimbabwe (sekitar Rp356 ribu) untuk pembeli yang membayar tunai. Namun, ketika menggunakan kartu kredit, harga bisa melonjak berkali-kali lipat menjadi 310.000 dollar Zimbabwe (sekitar Rp27,60 juta).

Pengalaman ini sempat terjadi kepada seorang pengusaha Zimbabwe bernama Charlene Dowme. Dia tak kuasa menahan rasa kesalnya, merasa tak percaya saat menerima tagihan setelah mentraktir tiga orang temannya makan malam di sebuah hotel lokal berbintang dua.

Seorang pengusaha lainnya bernama Tendai Makombe, yang menjalankan firma perancangan, membenarkan sistem harga yang berbeda tersebut. Menurutnya, hanya cara tersebutlah yang bisa membuat usaha bisa tetap berjalan meski tertatih-tatih.

“Tidak ada uang tunai. Jadi, kami harus membebankan 30 atau 35 persen premi pembayaran yang dilakukan dengan kartu kredit,” jelas Makombe.

“Alternatif lainnya adalah Anda membayar dengan mata uang asing untuk segala pembelian atau Anda melakukan transfer antarbank yang dikenakan 15 persen premi. Bagaimana lagi kami bisa bertahan?” lanjutnya.

Presiden konfederasi Industri Zimbabwe Calisti Jokonya menyalahkan struktur harga yang berbeda pada meluasnya kekurangan uang tunai, yang menyebabkan antrean panjang dan berkelok-kelok di bank-bank Zimbabwe.

“Persoalan harga yang berbeda adalah krisis serius bagi kami. Jika situasi uang tunai ini tidak segera diselesaikan, maka masalah akan berlanjut,” ujar Jokonya kepada AFP, Selasa (23/9).

Usaha-usaha pun mulai dilakukan oleh bank sentral dengan memperkenalkan note 1.000 dolar, yang hanya bisa digunakan untuk membeli sebungkus roti. Ditetapkan pula batas penarikan uang tunai, baik kepada individual maupun organisasi.

Sekitar dua minggu yang lalu, bank sentral juga mengizinkan toko-toko dan grosir terpilih untuk menetapkan harga dalam nilai mata uang asing. Ini dilakukan untuk menahan perdagangan komoditas dasar di pasar gelap, yang ikut disalahkan atas carut-marutnya sistem harga di Zimbabwe.

Jadi, bila Anda akan berkunjung ke Zimbabwe, hati-hatilah membeli barang semurah apapun. Jika tidak waspada, hanya bakal menumpuk segunung utang dan tagihan.

Astri Ihsan/AFP

No comments:

Post a Comment