"Markas Mom"
There's Always Something Extraordinary From Ordinary Things...
30 November 2013
Happy Birthday, Husband...!
Stay healthy and happy, sayang. Those are the most important things. Semoga umurmu berkah dan bermanfaat, selalu di jalan Allah, panjang umur, berlimpahan rezeki dan selalu bersyukur. Semoga seluruh cita-citamu dan impian kita tercapai. Let's enjoy life ahead and hope you love your little gift and surprise. -Love, your wife!-
07 November 2013
MUA Dadakan
Beberapa minggu lalu, saya membantu istri seorang teman di sebuah proyek iklan layanan masyarakat. Istri teman saya tersebut seorang fashion stylist dan dia meminta bantuan saya untuk merias talent yang ikut di iklan tersebut. Saya langsung mengiyakan tanpa tahu siapa yang saya make up. Pikir saya, ini kan iklan layanan masyarakat, konsep make up-nya sederhana dan paling hanya beberapa jam saja. Fee-nya pun not bad at all.
Istri temen saya tersebut mengiming-imingi dengan mantra sakti “Kan abis itu bisa belanja di H n M.” Yes, I’m sold!!! Sini..sini..siapa sih yang perlu dirias? D*mn, ternyata ada enam orang yang harus dirias dan beberapa di antaranya ada sosok yang sering saya lihat di tv.
Ada seorang pakar ekonomi cantik, ada presenter yang juga anggota Trio L*bels, ada seorang model sebuah produk dan klinik kecantikan ternama, seorang pakar transportasi, seorang talent yang saat itu memerankan sosok ibu rumah tangga, dan seorang lagi yang berperan sebagai sopir taksi. Jadi, iklan layanan masyarakat tersebut untuk mensosialisasikan manfaat konversi BBM ke BBG.
Saya standby di studio Gaharu, Cipete sejak pukul 07.30 dan langsung menuju ruang make up. Saya mulai merias sejam kemudian. Deg-degan? Iya, jelas! Ini pengalaman pertama saya merias secara profesional. Sebelumnya hanya untuk iseng-iseng atau sekedar membantu prewedding teman.
Hal yang menurut saya paling akwkward adalah ternyata laki-laki bisa lebih rewel soal dandanan dibanding perempuan, dan mereka lebih banyak menghabiskan foundation. Hahaha. Saya sama sekali tidak menyangka ketika anggota Trio L*bels itu meminta saya untuk memberi shading pada pipi, hidung, membentuk alisnya dan dia membawa bedaknya sendiri! *Ngikik*
Alhamdulillah, semua berjalan cukup lancar. Capek memang karena sepanjang waktu harus standby untuk touch up. Sayangnya, saya lupa memotret sebagian “hasil karya” saya. Padahal lumayan juga buat portfolio. Saya baru pulang sekitar pukul 17.00 sore dan senangnya karena langsung menerima fee. Besoknya saya harus memanggil tukang urut ke rumah karena seluruh badan terasa pegal. Hahaha. Walaupun capek, tapi sepertinya seru juga jika saya menjadikan ini sebagai pekerjaan sampingan. Hobi yang mendatangkan uang. *Lalu kemudian belanja ke H n M* ;)
Istri temen saya tersebut mengiming-imingi dengan mantra sakti “Kan abis itu bisa belanja di H n M.” Yes, I’m sold!!! Sini..sini..siapa sih yang perlu dirias? D*mn, ternyata ada enam orang yang harus dirias dan beberapa di antaranya ada sosok yang sering saya lihat di tv.
Ada seorang pakar ekonomi cantik, ada presenter yang juga anggota Trio L*bels, ada seorang model sebuah produk dan klinik kecantikan ternama, seorang pakar transportasi, seorang talent yang saat itu memerankan sosok ibu rumah tangga, dan seorang lagi yang berperan sebagai sopir taksi. Jadi, iklan layanan masyarakat tersebut untuk mensosialisasikan manfaat konversi BBM ke BBG.
Saya standby di studio Gaharu, Cipete sejak pukul 07.30 dan langsung menuju ruang make up. Saya mulai merias sejam kemudian. Deg-degan? Iya, jelas! Ini pengalaman pertama saya merias secara profesional. Sebelumnya hanya untuk iseng-iseng atau sekedar membantu prewedding teman.
Hal yang menurut saya paling akwkward adalah ternyata laki-laki bisa lebih rewel soal dandanan dibanding perempuan, dan mereka lebih banyak menghabiskan foundation. Hahaha. Saya sama sekali tidak menyangka ketika anggota Trio L*bels itu meminta saya untuk memberi shading pada pipi, hidung, membentuk alisnya dan dia membawa bedaknya sendiri! *Ngikik*
Alhamdulillah, semua berjalan cukup lancar. Capek memang karena sepanjang waktu harus standby untuk touch up. Sayangnya, saya lupa memotret sebagian “hasil karya” saya. Padahal lumayan juga buat portfolio. Saya baru pulang sekitar pukul 17.00 sore dan senangnya karena langsung menerima fee. Besoknya saya harus memanggil tukang urut ke rumah karena seluruh badan terasa pegal. Hahaha. Walaupun capek, tapi sepertinya seru juga jika saya menjadikan ini sebagai pekerjaan sampingan. Hobi yang mendatangkan uang. *Lalu kemudian belanja ke H n M* ;)
"Sapi Suci"
Setahun dua tahun terakhir, nama Sapi Suci sepertinya terkenal sekali. Tapi, saya belum sempat mencobanya hingga minggu lalu. Sapi Suci ini terkenal dengan wagyu-nya. Daging sapi istimewa ini biasanya hanya dijual di hotel berbintang.
Saya beberapa kali mencoba wagyu saat liputan di Shangri-La dan Ritz Carlton dulu. Apa yang membuat wagyu ini istimewa? Wagyu istimewa karena sapinya benar-benar diperlakukan khusus untuk menghasilkan daging yang berkualitas. Makanannya terpilih, sapinya harus bebas stres bahkan rutin dipijat. Hasilnya? Daging sapi yang benar-benar lembut dan harganya berkali-kali lipat dibandingkan harga daging sapi biasa.
Nah, kembali lagi ke Sapi Suci. Saat itu, sepulang dari Gandaria City, kami bertiga mampir di Radio Dalam. Tempatnya sih tidak mencolok. Dan saat masuk, ruangannya terasa sempit dan gelap. Kids friendly? Nope. Meja dan kursinya terlalu berdempetan sehingga sulit untuk bergerak karena takut mengganggu orang lain yang makan di depan atau belakang kami.
Saya memesan Buddy’s Special dengan kematangan medium, sementara suami saya memesan Premium Sirloin yang well done. Setiap paket sudah dilengkapi dengan kentang goreng, bayam tumis dan pilihan saus, ada mushroom, barbeque dan black pepper. Saya dan suami memilih saus barbeque.
Saat pesanan datang, saya terkejut juga dengan porsinya yang cukup besar. Pardon me, tapi rasa sausnya biasa saja, dan saya tidak mengerti apa gunanya bayam tumis di piring tersebut. Rasanya tidak cocok dengan sajian daging dan kentangnya. Saya hanya bisa merasakan rasa bawang putih yang sangat menyengat di tumisan sayurnya dan tidak ada rasa menonjol di saus barbequenya.
Tapi, saya memberikan acungan jempol untuk wagyunya. Benar-benar lembut dan juicy. Wagyu menjadi “pahlawan” di piring tersebut. Dan dibandingkan harga seporsi wagyu di hotel berbintang, tentu Sapi Suci menjadi pemenang karena harganya mungkin hanya seperlimanya.
Mau kembali lagi kesana? I guess not, selama tempatnya masih sesempit itu. Tapi bagi yang ingin mencoba sensasi wagyu, Sapi Suci tentu saja bisa menjadi pilihan yang relatif “ramah” di dompet.
Saya beberapa kali mencoba wagyu saat liputan di Shangri-La dan Ritz Carlton dulu. Apa yang membuat wagyu ini istimewa? Wagyu istimewa karena sapinya benar-benar diperlakukan khusus untuk menghasilkan daging yang berkualitas. Makanannya terpilih, sapinya harus bebas stres bahkan rutin dipijat. Hasilnya? Daging sapi yang benar-benar lembut dan harganya berkali-kali lipat dibandingkan harga daging sapi biasa.
Nah, kembali lagi ke Sapi Suci. Saat itu, sepulang dari Gandaria City, kami bertiga mampir di Radio Dalam. Tempatnya sih tidak mencolok. Dan saat masuk, ruangannya terasa sempit dan gelap. Kids friendly? Nope. Meja dan kursinya terlalu berdempetan sehingga sulit untuk bergerak karena takut mengganggu orang lain yang makan di depan atau belakang kami.
Saya memesan Buddy’s Special dengan kematangan medium, sementara suami saya memesan Premium Sirloin yang well done. Setiap paket sudah dilengkapi dengan kentang goreng, bayam tumis dan pilihan saus, ada mushroom, barbeque dan black pepper. Saya dan suami memilih saus barbeque.
Saat pesanan datang, saya terkejut juga dengan porsinya yang cukup besar. Pardon me, tapi rasa sausnya biasa saja, dan saya tidak mengerti apa gunanya bayam tumis di piring tersebut. Rasanya tidak cocok dengan sajian daging dan kentangnya. Saya hanya bisa merasakan rasa bawang putih yang sangat menyengat di tumisan sayurnya dan tidak ada rasa menonjol di saus barbequenya.
Tapi, saya memberikan acungan jempol untuk wagyunya. Benar-benar lembut dan juicy. Wagyu menjadi “pahlawan” di piring tersebut. Dan dibandingkan harga seporsi wagyu di hotel berbintang, tentu Sapi Suci menjadi pemenang karena harganya mungkin hanya seperlimanya.
Mau kembali lagi kesana? I guess not, selama tempatnya masih sesempit itu. Tapi bagi yang ingin mencoba sensasi wagyu, Sapi Suci tentu saja bisa menjadi pilihan yang relatif “ramah” di dompet.
How Gadget Drives Me Insane
Saya mencoba mengingat bagaimana kehidupan saya dulu sebelum menggunakan handphone, mengenal instant messaging, dan memiliki akun media sosial.
Sebelum populernya ponsel, sepertinya semua orang memiliki semacam buku kecil untuk mencatat nomor-nomor telepon dan alamat rumah keluarga ataupun teman. Namun, tanpa buku itu pun, kita tetap bisa mengingat nomor telepon rumah keluarga dan teman-teman dekat. Saya rasa saat itu semua orang saling tahu di mana alamat rumah keluarga atau teman dekatnya.
Lalu kemudian beredarlah ponsel. Awalnya hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Ponsel saat itu masih yang berukuran besar (saya menyebutnya hp batu bata) dan memiliki antena panjang. Harga SIM Card saat itu masih mahal dibandingkan sekarang. Orang-orang harus merogoh kocek ratusan ribu untuk memiliki sebuah nomor hp.
Hp pun semakin canggih. Dulu, layar hp hanya satu warna, sekarang sudah jamannya LED, high definition, touch screen, dengan kamera yang mumpuni, bahkan sudah setara dengan kamera DSLR. Berbagai macam fasilitas bisa dimiliki oleh benda yang bisa diselipkan di kantong celana ini. Muncul pula sistem Android, lalu ada tablet. Hah! Teknologi bergerak semakin cepat dan kita harus berlari sangat kencang bila ingin mengejarnya.
Hal yang paling nyata yang saya rasakan dengan adanya hp adalah saya mulai kesulitan menghafal angka. Kemampuan otak saya untuk mengingat dan menghafal tergantikan dengan adanya contact phone book di hp. Saat ini mungkin hanya empat hingga lima orang yang masih saya ingat nomor teleponnya.
Dulu, sebelum memiliki hp, semua orang bisa-bisa saja janjian lalu bertemu di sebuah tempat. Sekarang, bila ingin janjian saja, sepertinya harus dirancang sedemikian rupa. Mau bertemu saja, dibahas berkali-kali melalui sms, bbm, whatsapp, line, you named it.
Mau membatalkan janji, tinggal kirim pesan saja, tak usah bertemu muka. Dulu, saat lebaran, kita saling berkirim kartu lebaran. Sekarang, kartu lebaran tergantikan dengan instant messaging. Semua orang bisa terkoneksi dengan mudah.
Kemudian, muncul pula media sosial. Awalnya Friendster, lalu muncul Facebook, Twitter, Path, Instagram dan silahkan sebut saja yang lain. Hampir tidak ada lagi privasi. Semua orang berlomba-lomba memamerkan kehidupannya.
Ingin “pedekate”, tinggal cari di Fb dan Twitter. Pergi ke suatu tempat, check in dulu di foursquare, lagi makan enak di restoran, foto dulu makanannya dan unggah ke media sosial. Menikah? Undang saja melalui FB. Punya pacar baru atau baru saja putus, tunangan maupun menikah, jangan lupa update status dulu. Baru melahirkan? Jangan lupa, laporkan setiap perkembangan bayi di media sosialmu. Anak sedang sakit? Tanya saja dokter di Twitter.
Hidup sepertinya jadi lebih mudah bukan? Yes! But this is my two cents. Seriously, I’m done with all of these things. I am the victim of social media, my husband too and my child of course.
Persoalan status di FB ataupun di BBM yang kerap menimbulkan perasaan tak nyaman. Tiba-tiba semua orang merasa berhak atau mungkin saja merasa wajib berbagi perasaannya, meluapkan emosinya, menyindir atau mengejek orang lain di ruang publik. Ada pula yang mengumbar persoalan rumah tangganya ataupun memamerkan barang-barang mewahnya. Belum lagi soal follow atau unfollow di Twitter yang banyak menimbulkan ketersinggungan.
Tanpa saya sadari, saya terlalu banyak berbagi hal yang mungkin tidak sepatutnya saya umumkan ke dunia, bahkan yang mungkin orang lain tidak ingin tahu. Saya telah melanggar hak privasi diri sendiri. Diakui atau tidak, tanpa hp, saya seperti “lumpuh.” Disadari ataupun tidak, teknologi memang mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat.
I keep sharing, updating, uploading everything, tapi sebenarnya siapa sih yang peduli? Setiap orang sibuk dengan kehidupannya sendiri. Sementara, saat saya bangun pagi, Blackberry menjadi hal pertama yang saya cari. I should stop. I need to stop.
Saya tidak mengatakan bahwa media sosial hanya membawa pengaruh buruk. Sama sekali tidak. Pekerjaan saya pun mengharuskan saya untuk selalu in contact dengan media sosial. Tinggal jauh dari orang tua juga membuat saya harus sesekali harus mengunggah foto demi memuaskan rasa rindu mereka terhadap anak dan cucunya. Tapi, saya tidak ingin berlebihan lagi.
Sepertinya sudah cukup waktu yang saya “curi” dari diri saya sendiri, anak dan suami saya hanya untuk membuka halaman Facebook orang lain, memantau lini masa atau melihat recent updates. Dan saya pun memutuskan untuk tidak lagi “menyuapi” orang lain dengan kehidupan pribadi saya.
Semua harus kembali pada porsi yang sewajarnya. Saya harus kembali memberi ruang dan rasa hormat untuk privasi. Banyak hal positif yang saya yakin bisa saya dapatkan dengan memangkas waktu saya saat bergelut dengan gadget dan media sosial. Saya bisa menjalin hubungan yang lebih berkualitas dengan keluarga dan teman-teman dekat, kembali produktif untuk menulis, meluangkan waktu melakukan hobi saya untuk baking, membaca buku, membuka-buka majalah interior, apapun itu.
Bukan teknologi yang menguasai manusia, tapi justru manusia lah yang seharusnya menaklukkan teknologi. Jangan sampai teknologi justru membuat kita mengabaikan hal-hal yang ada di sekitar. Manfaatkan kebaikannya dan buang hal-hal negatif yang bisa ditimbulkan. Yah, mungkin ada yang setuju ataupun tidak. Tapi, hidup ini kan pilihan. Terserah kita mau memilih jalan yang mana.
Sebelum populernya ponsel, sepertinya semua orang memiliki semacam buku kecil untuk mencatat nomor-nomor telepon dan alamat rumah keluarga ataupun teman. Namun, tanpa buku itu pun, kita tetap bisa mengingat nomor telepon rumah keluarga dan teman-teman dekat. Saya rasa saat itu semua orang saling tahu di mana alamat rumah keluarga atau teman dekatnya.
Lalu kemudian beredarlah ponsel. Awalnya hanya orang-orang tertentu yang memilikinya. Ponsel saat itu masih yang berukuran besar (saya menyebutnya hp batu bata) dan memiliki antena panjang. Harga SIM Card saat itu masih mahal dibandingkan sekarang. Orang-orang harus merogoh kocek ratusan ribu untuk memiliki sebuah nomor hp.
Hp pun semakin canggih. Dulu, layar hp hanya satu warna, sekarang sudah jamannya LED, high definition, touch screen, dengan kamera yang mumpuni, bahkan sudah setara dengan kamera DSLR. Berbagai macam fasilitas bisa dimiliki oleh benda yang bisa diselipkan di kantong celana ini. Muncul pula sistem Android, lalu ada tablet. Hah! Teknologi bergerak semakin cepat dan kita harus berlari sangat kencang bila ingin mengejarnya.
Hal yang paling nyata yang saya rasakan dengan adanya hp adalah saya mulai kesulitan menghafal angka. Kemampuan otak saya untuk mengingat dan menghafal tergantikan dengan adanya contact phone book di hp. Saat ini mungkin hanya empat hingga lima orang yang masih saya ingat nomor teleponnya.
Dulu, sebelum memiliki hp, semua orang bisa-bisa saja janjian lalu bertemu di sebuah tempat. Sekarang, bila ingin janjian saja, sepertinya harus dirancang sedemikian rupa. Mau bertemu saja, dibahas berkali-kali melalui sms, bbm, whatsapp, line, you named it.
Mau membatalkan janji, tinggal kirim pesan saja, tak usah bertemu muka. Dulu, saat lebaran, kita saling berkirim kartu lebaran. Sekarang, kartu lebaran tergantikan dengan instant messaging. Semua orang bisa terkoneksi dengan mudah.
Kemudian, muncul pula media sosial. Awalnya Friendster, lalu muncul Facebook, Twitter, Path, Instagram dan silahkan sebut saja yang lain. Hampir tidak ada lagi privasi. Semua orang berlomba-lomba memamerkan kehidupannya.
Ingin “pedekate”, tinggal cari di Fb dan Twitter. Pergi ke suatu tempat, check in dulu di foursquare, lagi makan enak di restoran, foto dulu makanannya dan unggah ke media sosial. Menikah? Undang saja melalui FB. Punya pacar baru atau baru saja putus, tunangan maupun menikah, jangan lupa update status dulu. Baru melahirkan? Jangan lupa, laporkan setiap perkembangan bayi di media sosialmu. Anak sedang sakit? Tanya saja dokter di Twitter.
Hidup sepertinya jadi lebih mudah bukan? Yes! But this is my two cents. Seriously, I’m done with all of these things. I am the victim of social media, my husband too and my child of course.
Persoalan status di FB ataupun di BBM yang kerap menimbulkan perasaan tak nyaman. Tiba-tiba semua orang merasa berhak atau mungkin saja merasa wajib berbagi perasaannya, meluapkan emosinya, menyindir atau mengejek orang lain di ruang publik. Ada pula yang mengumbar persoalan rumah tangganya ataupun memamerkan barang-barang mewahnya. Belum lagi soal follow atau unfollow di Twitter yang banyak menimbulkan ketersinggungan.
Tanpa saya sadari, saya terlalu banyak berbagi hal yang mungkin tidak sepatutnya saya umumkan ke dunia, bahkan yang mungkin orang lain tidak ingin tahu. Saya telah melanggar hak privasi diri sendiri. Diakui atau tidak, tanpa hp, saya seperti “lumpuh.” Disadari ataupun tidak, teknologi memang mendekatkan yang jauh namun juga menjauhkan yang dekat.
I keep sharing, updating, uploading everything, tapi sebenarnya siapa sih yang peduli? Setiap orang sibuk dengan kehidupannya sendiri. Sementara, saat saya bangun pagi, Blackberry menjadi hal pertama yang saya cari. I should stop. I need to stop.
Saya tidak mengatakan bahwa media sosial hanya membawa pengaruh buruk. Sama sekali tidak. Pekerjaan saya pun mengharuskan saya untuk selalu in contact dengan media sosial. Tinggal jauh dari orang tua juga membuat saya harus sesekali harus mengunggah foto demi memuaskan rasa rindu mereka terhadap anak dan cucunya. Tapi, saya tidak ingin berlebihan lagi.
Sepertinya sudah cukup waktu yang saya “curi” dari diri saya sendiri, anak dan suami saya hanya untuk membuka halaman Facebook orang lain, memantau lini masa atau melihat recent updates. Dan saya pun memutuskan untuk tidak lagi “menyuapi” orang lain dengan kehidupan pribadi saya.
Semua harus kembali pada porsi yang sewajarnya. Saya harus kembali memberi ruang dan rasa hormat untuk privasi. Banyak hal positif yang saya yakin bisa saya dapatkan dengan memangkas waktu saya saat bergelut dengan gadget dan media sosial. Saya bisa menjalin hubungan yang lebih berkualitas dengan keluarga dan teman-teman dekat, kembali produktif untuk menulis, meluangkan waktu melakukan hobi saya untuk baking, membaca buku, membuka-buka majalah interior, apapun itu.
Bukan teknologi yang menguasai manusia, tapi justru manusia lah yang seharusnya menaklukkan teknologi. Jangan sampai teknologi justru membuat kita mengabaikan hal-hal yang ada di sekitar. Manfaatkan kebaikannya dan buang hal-hal negatif yang bisa ditimbulkan. Yah, mungkin ada yang setuju ataupun tidak. Tapi, hidup ini kan pilihan. Terserah kita mau memilih jalan yang mana.
26 October 2013
Hello Blog!
Ohh how i miss this blog so mucchhhhh... It's been so long time since my last write..
Kemana aja mbak? Hehehe saya ga kemana-mana, di sini aja, lima hari seminggu masih menempuh rute Cilandak-Pulo Gadung-Cilandak, masih urus suami dan anak, yang beda cuma body agak berisi dikitttt nih hihihi.. I gain 6 kilograms dong *proud trus nunduk malu liat perut buncit*
Sebenarnya pengen banget nulis. Tapiiiii, susah banget nih gerakin jari buat coret-coret new post. Banyak banget sebenernya yang pengen ditulis (baca:curhat ;p), termasuk soal gagalnya saya jadi warga Depok.
Jadi, ceritanya bad mood eykeh ini dipersembahkan oleh gagalnya saya beli rumah di Tanah Baru, Depok waktu itu. Gegara developer rumahnya jahat bin menyebalkan yang menyebabkan rumahnya ga jadi-jadi, sementara uangnya udah dimakan dan susah diminta balik. Yasutralah, Hamdallah aja deh, seenggaknya ga jadi pindah KTP dan kita sampai sekarang masih hunting rumah di daerah Jakarta. Dan dengan belagunya, cuma pengen rumah di daerah Jakarta Selatan ;D
Trus, si Alair apa kabarnya? Alhamdulillah, Alair sangat sehat, lincah, happy banget sekolah, perkembangannya luar biasa. Sudah bisa ngeyel, membantah, ngotot, hobby banget sama jersey bola, masih deeply in love with Angry Bird. Anak seumuran Alair ternyata menyenangkan sekali. Seru kalo diajak jalan-jalan berdua.
Alair sekarang sekolahnya gabung sama Playgroup B, walaupun umurnya harusnya masih Playgroup A. Jadi, yang daftar Playgroup A di sekolah Al cuma tiga orang, alhasil yah digabung aja sama Playgroup B, dan Alhamdulillah Al bisa beradaptasi dengan sangat baik dengan aktivitas kelas, teman-teman, dan guru-gurunya. Trus, Al juga ikutan catering di sekolah. Menunya lumayan bervariasi, sehat dan non-MSG, & Al juga jadi semangat makannya.
Jadi, sekian dulu yah updatenya hihihi.. Nanti pasti nulis lagi.. Iyaaahh.. nanti... Mmmuaaachhh...
Kemana aja mbak? Hehehe saya ga kemana-mana, di sini aja, lima hari seminggu masih menempuh rute Cilandak-Pulo Gadung-Cilandak, masih urus suami dan anak, yang beda cuma body agak berisi dikitttt nih hihihi.. I gain 6 kilograms dong *proud trus nunduk malu liat perut buncit*
Sebenarnya pengen banget nulis. Tapiiiii, susah banget nih gerakin jari buat coret-coret new post. Banyak banget sebenernya yang pengen ditulis (baca:curhat ;p), termasuk soal gagalnya saya jadi warga Depok.
Jadi, ceritanya bad mood eykeh ini dipersembahkan oleh gagalnya saya beli rumah di Tanah Baru, Depok waktu itu. Gegara developer rumahnya jahat bin menyebalkan yang menyebabkan rumahnya ga jadi-jadi, sementara uangnya udah dimakan dan susah diminta balik. Yasutralah, Hamdallah aja deh, seenggaknya ga jadi pindah KTP dan kita sampai sekarang masih hunting rumah di daerah Jakarta. Dan dengan belagunya, cuma pengen rumah di daerah Jakarta Selatan ;D
Trus, si Alair apa kabarnya? Alhamdulillah, Alair sangat sehat, lincah, happy banget sekolah, perkembangannya luar biasa. Sudah bisa ngeyel, membantah, ngotot, hobby banget sama jersey bola, masih deeply in love with Angry Bird. Anak seumuran Alair ternyata menyenangkan sekali. Seru kalo diajak jalan-jalan berdua.
Alair sekarang sekolahnya gabung sama Playgroup B, walaupun umurnya harusnya masih Playgroup A. Jadi, yang daftar Playgroup A di sekolah Al cuma tiga orang, alhasil yah digabung aja sama Playgroup B, dan Alhamdulillah Al bisa beradaptasi dengan sangat baik dengan aktivitas kelas, teman-teman, dan guru-gurunya. Trus, Al juga ikutan catering di sekolah. Menunya lumayan bervariasi, sehat dan non-MSG, & Al juga jadi semangat makannya.
Jadi, sekian dulu yah updatenya hihihi.. Nanti pasti nulis lagi.. Iyaaahh.. nanti... Mmmuaaachhh...
Subscribe to:
Posts (Atom)