Memasak Adalah Tantangan dan Kebanggaan
HARI sudah beranjak senja kali itu. Cukup lama saya menunggu, lalu muncul pria berperawakan tinggi besar. Dialah Iman Sudarsono, Executive Chef Mercure Convention Center (MCC), Ancol-Jakarta. Kami mengobrol santai di teras Sunda Kelapa Cofee Shop MCC. Berhadapan langsung dengan pantai yang kala itu ramai wisatawan.
Iman bercerita bahwa menjadi koki sama sekali bukan cita-citanya. Pria kelahiran Garut, 4 Mei 1972 ini justru berharap menjadi arsitek atau pemusik. Nasib berkata lain. Terdesak kebutuhan, alumnus Universitas Siliwangi jurusan agronomi ini, tercemplung di dunia dapur.
Awalnya, hanya menjadi pencuci piring di Country Club. Berbekal tekad dan keinginan belajar, Iman sedikit demi sedikit berusaha mengenal bahan-bahan makanan, berikut istilahnya dalam bahasa Inggris. Kala itu, kata chef yang kerapkali membuat orang tertawa dengan guyonan-guyonan ini merasa sangat sulit belajar dari chef lain yang lebih berpengalaman. Entah pelit ilmu atau takut tersaingi, chef senior tak mau memberikan penjelasan apapun jika dia bertanya nama-nama bumbu dan kegunaannya.
Mengakali itu, dia mencoba mencuri-curi pandang jika senior sedang memasak. Dia mempraktikkannya saat malam. Chef yang memiliki spesialisasi makanan western dan Asia ini pun meminta izin membawa pulang sampel bumbu. Lalu, ditempelkan dalam buku, dilabel dengan nama dalam bahasa Inggris. Kadangpula dicicipi hingga dia tak kebingungan lagi ketika diminta membantu di dapur.
“Lari ke hotel, saya sempat kaget. Banyak sekali istilah dalam bahasa Inggris. Ada rempah, daun-daunan, aneka pasta, istilahnya aneh-aneh. Saya bertekad dalam sehari saya mesti menguasai setidaknya lima macam bumbu dalam bahasa Inggris,” kenang Iman.
Bagi dia, yang pernah merasakan bekerja di Hotel Grand Metro (Millenium), Mandari Oriental, Aryaduta Lippo Karawaci, Sheraton Bandung Sheraton Bandara dan Sheraton Timika, makanan seharusnya tidak sekadar enak, penampilan dan aroma pun harus bagus.
Menurut dia, masak itu bagaikan dunia mode dan memiliki tren. Suatu hari, tren itu akan kembali lagi meski dengan kemasan berbeda.
Karena makanan itu sesuatu yang subyektif, berbeda-beda di setiap lidah. Dia pun berbagai tips jika ingin memasak yang bisa diterima semua orang. Pertama, memasaklah dengan rasa yang netral, tidak terlalu manis, asam, asin ataupun pedas. Jangan pula terlalu banyak menanyakan rasa ke berbagai orang karena hanya akan membingungkan.
Kedua, memasak juga mesti menggunakan hati dan perasaan, mood dalam keadaan bagus dan tubuh fit. Terakhir, jangan sekali-kali memasak jika bahan tidak lengkap. Jika tetap memaksakan memasak menu tertentu meski bahan tidak lengkap, dipastikan hasil dan rasa masakan tidak akan maksimal.
“Jangan bilang memasak semur, jika kayu manisnya tak ada,” katanya.
Memasak baginya adalah tantangan juga kebanggaan. Tantangan bagaimana menciptakan menu yang serasi bahan, rasa, warna dan penataan, serta tak biasa alias memiliki keistimewaannya. Belum lagi bila mendapatkan permintaan yang aneh-aneh dari tamu. Kebanggaan adalah bisa mengenal banyak artis maupun memasak untuk para pejabat.
Astri Istiana Ihsan
No comments:
Post a Comment