DUNIA tampaknya semakin akrab dengan badai. Khususnya beberapa bulan terakhir, serangan badai, tak berhenti susul-menyusul menghajar berbagai belahan dunia, dari Amerika hingga Asia. Korban terus berjatuhan, kehancuran terjadi di mana-mana, pengungsi membludak, berjuta-juta dolar harus dikucurkan untuk mengadakan program pemulihan dan perbaikan pascabencana.
Baru-baru ini, benua Amerika disinggahi topan Ida. Kedatangan badai berkategori dua ini menyisakan kepedihan mendalam bagi El Salvador, negara terkecil dan terpadat di Amerika Tengah. Topan Ida menimbulkan banjir dan longsor. Setidaknya 130 orang tewas, puluhan dinyatakan hilang. Nyaris 90 persen infrastruktur di negara ini rusak. Presiden El Salvador Mauricio Funes mendeklarasikan darurat nasional.
Topan Ida kemarin masih bergerak di seputar Teluk Meksiko, meski dengan kecepatan yang mulai melemah. Lousiana hingga Pantai Meksiko di Florida bersiaga. Sejumlah perusahaan minyak lepas pantai terpaksa ditutup dan para pekerjanya pun diungsikan. Pemerintah Lousiana juga mengumumkan situasi darurat.
Situasi alam di Asia lebih miris. Sejumlah badai menghantam dan terus bergerak melintasi Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja, menuju China, hingga Jepang, tahun ini. Filipina yang terkena dampak paling parah. Dalam dua bulan terakhir, ada tiga badai yang memporak-porandakan negara ini, yakni topan Ketsana, Parma, dan Mirinae. Lebih dari 900 orang tewas di Filipina saja, belum terhitung jumlah korban di negara-negara sekitarnya.
Bila berbicara tentang badai ataupun topan tropis, mungkin banyak orang yang bisa sedikit tersenyum. Bukan karena menertawakan bencana yang terjadi, melainkan karena nama-nama badai yang unik dan mengundang tanda tanya. Nama-nama badai memang cukup menggelitik, ada Katarina, Ida, Erica, Ana, Rose, Grace, Claudette, hingga Peter dan Nicholas.
Sebenarnya nama badai tropis di seluruh dunia banyak sekali, ratusan jumlahnya, dikategorikan berdasarkan wilayah, ada Atlantik Utara, Atlantik Selatan, Pasifik Timur, Pasifik Barat, Samudera Hindia Utara, dan Australia. Penamaan ini dibuat oleh pusat cuaca di masing-masing wilayah dan didaftarkan ke Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Pemberian nama yang unik dan berbeda memang diperlukan. Gunanya agar mudah membedakan sistem dari tiap badai, bila terjadi di satu cakupan wilayah. Selain itu, pemberian nama badai juga untuk memudahkan badan cuaca memberikan peringatan akan datangnya badai kepada publik. Selama ratusan tahun, badai dinamai dengan nama-nama hari suci.
Akhir abad ke 19, seorang ahli metereologi Australia, Clement Lindley Wragge, mulai memberikan nama-nama feminim yang disenanginya. Ia juga kerap menggunakan nama nama-nama politisi yang dibencinya, mengambil dari sejarah ataupun mitos, untuk menamai badai.
Baru pada 1979, WMO mulai memberi nama-nama maskulin untuk badai. Pusat Peringatan Badai Tropis Jakarta sendiri memilih memberikan nama-nama bunga sejak 1 Juli 2008 untuk badai yang melewati wilayahnya. Nantinya, badai akan dinamai seperti jenis-jenis buah.
Uniknya lagi, nama-nama badai ini bisa juga dipensiunkan. Bila sudah menimbulkan kerusakan parah, nama badai pun bisa dipensiunkan untuk mengenang kehancuran yang ditimbulkan. Tapi sebelumnya, negara yang terkena badai harus mengajukan permohonan untuk mempensiunkan nama badai itu dalam rapat WMO, dan bisa juga mengajukan sebuah nama baru.
Astri Ihsan
No comments:
Post a Comment