5 Oktober 2010
Sehari sebelum menjadi pengantin, tepatnya 8 Mei 2010, segala persiapan telah dimulai di rumah. Tenda telah terpasang. Bagus sekali, berwarna coklat, krem, emas, sedikit warna merah, dan ada sentuhan putih di pasang di sepanjang halaman rumah. Tepat di atas pagar, terdapat rumah bambu khas Bugis bila ada gelaran perkawinan. Saya lupa apa namanya, meski ibu pernah menjelaskannya secara detail padaku.
Kursi-kursi pun telah dikeluarkan dari rumah dan diletakkan di teras. Rumah ditutupi dengan karpet-karpet tebal. Dekorasi khas Bugis pun telah terpasang menutup dinding. Yang paling membuat saya terpana ketika baru saja tiba di rumah setelah menempuh perjalanan dari Jakarta sehari sebelumnya adalah pelaminan. Ya, pelaminan telah terpasang. Oh my God, saya benar-benar akan segera menikah.
Hari itu kesibukan memang sudah sangat terasa sejak pagi. Ketika saya bangun, ibu pun mengingatkan saya untuk bersiap karena sebelum matahari meninggi, indo botting saya, H. Nia, akan datang. Konon katanya, dia akan memandikan saya untuk membuka aura calon pengantin. Banyak yang disiapkan untuk acara mandi ini, ada sejumlah koin, berbagai jenis daun-daunan, kelapa, dan saya tak tahu apa lagi karena memang ibu yang menyiapkan. Gadis-gadis yang belum menikah pun diminta berada di dekatku saat proses mandi itu. Untuk membuka aura dan jodoh mereka, katanya.
Acara mandi ini berlangsung cukup seru. Sebelum matahari meninggi, sesuai instruksi, sekitar pukul 09.00, prosesi ini pun dimulai. Saya diminta hanya mengenakan barang-barang yang akan saya relakan untuk buang nantinya. Ibu sudah menyiapkan sarung untukku, juga handuk untuk menutupi dada. H. Nia pun dengan penuh konsentrasi sambil mulutnya komat-kamit entah mengucapkan mantra apa perlahan-lahan menuangkan air ke kepala yang mengalir ke tubuhku.
Sungguh saya takut sekali saat itu. Bukan apa-apa, saya takut hal itu mengarah ke kemusyrikan. Sepanjang prosesi, saya terus membaca Al-Fatihah, Ayat Kursi. Saya berdzikir. Ya Allah, ampuni hamba, hamba berserah dan menyembah hanya padaMu. Apapun tujuan prosesi ini, kuniatkan sepenuh hati hanya untuk prosesi saja, tanpa mengharapkan hasil apapun.
Selepas itu, gadis-gadis yang belum menikah, termasuk dua orang saudara perempuan saya, bahkan tante saya yang sudah tak terikat pernikahan lagi, ikut-ikutan berebut koin. Seru sekali.
Tak itu saja, selesai mandi, saya diminta mengenakan pakaian berwarna putih bawahannya sarung. Ada satu prosesi lagi, mencukur alis. Seumur hidup saya belum pernah mencukur alis. Prosesinya juga tak sembarangan. Untuk prosesi ini, disediakan kelapa muda beserta airnya, lilin, dan juga kue onde-onde. Alisku pun mulai dirapikan, begitu juga dengan anak-anak rambut di kepala. Alis yang melengket di silet pun dicelupkan di air kelapa yang sudah disiapkan tadi.
Setelah itu, indo botting pun menyuapkanku kue onde-onde. Enak sekali kuenya. Kata H. Nia, kue onde-onde yang disiapkan untuk calon pengantin biasanya rasanya memang lebih lezat hingga kita ingin terus memakannya hingga habis. Prosesi selesai. H. Nia berpesan, sejak saat itu hingga hari pengantin, saya dilarang untuk mengenakan make-up sendiri. Okelah, di hari terakhir saya sebagai gadis single, saya menurut saja. ^^
No comments:
Post a Comment